Tafsir Ayat Tentang Mahar



KATA PENGANTAR

Assalamu ‘alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT., karena atas berkat, rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tafsir Ayat Tentang Mahar” sebagai salah satu tugas untuk menambah pengetahuan di bidang agama.
Makalah ini penulis susun dengan maksud untuk memenuhi tugas makalah yang telah diberikan. Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada pembimbing materi kuliah ini dalam memberikan tugas mandiri ini.
Akhir kata penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kekurangan  ataupun kesalahan dalam penyusunan makalah ini ataupun dalam segi penulisan, namun penulis harapkan semoga makalah ini menjadi bermanfaat untuk pembaca. Sekian terimakasih.
Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb.


Amuntai,  Februari 2018 

Hilwatul Munawwarah



DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...........................................................................................      i
Daftar isi .......................................................................................................      ii
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................
A.    Latar Belakang Masalah ....................................................................      1
B.     Rumusan Masalah .............................................................................      1
C.     Tujuan Masalah .................................................................................      1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................
A.    Pengertian Mahar ..............................................................................      3
B.     Pembagian Mahar ..............................................................................      4
C.     Ayat dan Tafsir Tentang Mahar ........................................................      10
D.    Ketentuan Mahar Apabila Terjadi Perceraian ...................................      28
E.     Hikmah Disyariatkan Mahar .............................................................      29
BAB III PENUTUP ....................................................................................
A.    Simpulan ............................................................................................      31
B.     Saran dan Kritik ................................................................................      31
Daftar Pustaka ............................................................................................      32






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Salah satu keistimewaan Islam adalah memperhatikan dan menghargai wanita, yaitu memberinya hak untuk memegang urusan dan memiliki sesuatu. Di zaman jahiliyah hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya serta menggunakannya. Islam datang menghilangkan belenggu ini dengan istri diberi hak mahar dan suami diwajibkan memberikan mahar kepadanyta bukan kepada ayahnya.
Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan atau secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad pernikahan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas sedikit tentang mahar dalam Islam sebagai dasar dalam melaksanakan pernikahan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian mahar ?
2.      Sebutkan pembagian mahar ?
3.      Ayat apa saja yang membahas tentang mahar ?
4.      Bagaimana tafsir dari ayat tersebut ?
5.      Bagaimana ketentuan mahar apabila terjadi perceraian ?
6.      Apa hikmah disyariatkan mahar ?
C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian mahar.
2.      Untuk mengetahui pembagian mahar.
3.      Untuk mengetahui ayat yang membahas tentang mahar.
4.      Untuk  mengetahui penjelasan tafsir dari ayat tersebut.
5.      Untuk mengetahui ketentuan mahar apabila terjadi perceraian.
6.      Untuk mengetahui hikmah disyariatkan mahar.


1.       


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mahar
Dari segi bahasa dalam bentuk tunggal bahasa Arab adalah " الْمَهْرُ"  dan jamaknya yaitu  "مُهُوْرٌ" yang artinya adalah mahar.[1] Sedangkan dalam kamus lain bahwa mahar juga adalah "الصِّدَاقُ" . [2]
Mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah (maskawin).[3]
Mahar atau maskawin adalah pemberian sesuatu dari pihak laki-laki sesuai dengan permintaan pihak perempuan yang batas-batas yang ma’ruf. Apabila mahar telah diberikan oleh suami kepada istri dalam bentuk apapun, maka mahar tersebut beralih menjadi milik istri secara individual. Apabila istri menyerahkan seluruhnya atau sebagian dari mahar tersebut kepada suami setelah diterima oleh istri maka pemberian yang sedemikian itu hanya sekedar merupakan kebaikan atau pemurahan hati istri kepada suami. Menurut kenyataannya di dalam masyarakat mahar dapat berupa uang, pakaian, benda bergerak atau tidak bergerak, bahkan bentuk pelayanan tertentu kepada istri misalnya suami memberikan mahar dalam bentuk mengajarkan ngaji al-Qur’an bagi istri dan sebagainya.[4]
Mahar merupakan suatu kewajiban yang harus di berikan oleh seorang laki-laki kepada wanita apabila mereka melangsungkan ikatan pernikahan[5].
Dalam buku fiqih wanita Mahar atau maskawin adalah hak wanita karena dengan menerima mahar artinya dia suka dan rela dipimpin oleh laki-laki yang baru saja mengawininya.[6]
Mahar itu dalam bahasa arab disebut dengan delapan nama, yaitu : shadaq (صداق), nihlah(نحلة) , faridhah  (فريضة), ujr (أجر), ‘uqar(عقر) , dan aliqah (عليقة). Keseluruhan kata tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang diterima.[7]
Para ulama mazhab mengemukakan beberapa definisi, yaitu:
1.      Mazhab Hanafi (sebagiannya) mendefinisikan, bahwa:mahar sebagai sejumlah harta yang menjadi hak istri, karena akad perkawinan, atau disebabkan terjadi senggama dengan sesungguhnya”.
2.      Mazhab Maliki mendefinisikannya: “sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli”.
3.      Mazhab Hambali mengemukakan, bahwa mahar yaitu “sebagai imbalan suatu perkawinan, baik disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak, maupun ditentukan oleh hakim.[8]
B.     Pembagian Mahar
a.    Mahar yang Disebutkan (Musamma)
Mahar yang disebutkan maksudnya mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik pada saat akad maupun setelahnya seperti membatasi mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad tanpa menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah pihak mengadakan kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar. Ulama fikih bersepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma wajib diberikan secara penuh apabila:
1.      Apabila telah senggama
2.      Apabila salah satu dari suami / istri meninggal dunia
Ada dua macam mahar  (Mahar tersembunyi dan mahar terbuka) yang disepakati oleh kedua belah pihak sebelum akad kemudian diumumkan pada saat akad berbeda dengan mahar yang disepakati, baik dari segi ukuran maupun jenisnya. Pada saat itu berarti sang istri dihadapkan pada dua mahar; pertama, mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak sebelum akad dan mahar ini yang disebutkan mahar tersembunyi.  Kedua, mahar terbuka yang diumumkan dalam akad dihadapan orang banyak. 
Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa mahar yang wajib adalah yang disebutkan dalam akad, karena akad inilah mahar menjadi wajib.  Yang wajib adalah yang disebutkan dalam akad, baik sedikit maupun banyak.  Jikalau mahar tersembunyi 1.000 dan mahar yang diumumkan 2.000, kemudian mereka mengumumkan saat akad bahwa mahar 2.000 maka itulah mahar yang wajib. Apabila mengumumkan bahwa mahar 1.000, maka mahar yang wajib bagi istri adalah 1.000.[9]
Ulama Malikiyah berpendapat, jika kedua belah pihak bersepakat pada mahar tersembunyi dan dalam pengumuman berbeda dengan yang pertama, maka yang dipedomani adalah yang disepakiti kedua belah pihak yang tersembunyi tersebut. Maka yang tersembunyi inilah yang wajib diberikan kepada istri dan yang disepakati dalam pengumuman tidak diberlakukan.
            Ulama Hanabillah memisahkan pada dua kondisi, yaitu:
1.      Jika kedua belah pihak mengadakan akad dengan mahar yang dirahasiakan, kemudian mengadakan akad lagi secara terbuka dan diumumkkan mahar yang berbeda dengan mahar akad yang pertama.  Dalam hokum kondisi seperti ini mahar yang diambil adalah mahar yang yang lebih banyak dari keduanya dan inilah yang wajib diberikan kepada istri.
2.      Jika kedua belah pihak bersepakatan pada mahar sebelum akad kemudian mereka mengadakan akad setelah kesepakatan tersebut yang lebih banyak dari mahar yang disepakati.  Karena penyebutan yang benar pada akad yang benar pula, mahar yang disebutkan dalam akad wajib diberikan kepada istri dan tidak usah memperhatikan penyebutan yang disepakati sebelum akad seolah-olah tidak ada.
Menurut Ulama Hanafiyah, mahar tersembunyi dan terbuka ini dibagi dalam dua kondisi:
1.      Jika kedua belah pihak ketika akad tidak mengatakan bahwa mahar dari mereka 1.000 karena ingin popular (sum’ah), mahar dalam kondisi ini adalah apa yang disebutkan secara terbuka yaitu 2.000
2.      Jika kedua belah pihak mengatakan dalam akad 1.000 dari 2.000 karena mereka yang secara sembunyi yakni 1.000 junaih. Ini lahirnya riwayat Abu Hanifah, yakni pendapat dua sahabatnya.  Diriwayatkan oleh Abu Hanifah juga bahwa mahar adalah yang diumumkan oleh mereka dalam akad, yaitu 2.000 junaih.
b.   Mahar yang Sepadan (Mitsil)
Mahar mitsil adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa menyebutkan mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung, saudara perempuan tunggal bapak, dan seterusnya.
Menurut ulama Syafi’iyah yang di pedomani dalam mempertimbangkan mahar mitsil adalah dengan melihat beberapa wanita keluarga ashabah (sekandung atau dari bapak) perempuan untuk mencari persamaan ukuran mahar. Yang perlu diperhatikan terhadap wanita-wanita keluarga ashabah perempuan ketika mencari ukuran mahar mitsil adalah dari segi status mereka terhadap perempuan, mereka satu sifat dengannya dan yang paling dekat dengan nya.  Artinya, jika saudara perempuannya yang sekandung yang sama sifat-sifatnya menikah dengan mahar 1.000 rupiah, maka mahar perempuan tersebut juga 1.000.  jika tidak memiliki saudara perempuan sekandung atau belum menikah atau sudah menikah tetapi tidak diketahui maharnya, maka dilihat dari saudara perempuannya tunggal bapak, putri saudara laki-laki sekandung, putri saudara laki-laki sebapak, kemudian saudara ke bawah dari dua arah mereka tersebut yang satu arah ke saudara perempuan kandung yang satu lagi saudara perempuan bapak.
Jika tidak ditemukan wanita-wanita ashabah perempuan di atas dalam arti tidak ada sama sekali atau ada tetap ibelum menikah atau sudah menikah tetapi tidak diketahui maharnya, pindah kepada wanita-wanita arham (keluarga ibu) dari perempuan tersebut secara tertib, yaitu ibu, nenek, bibi, putri saudara perempuan, putri bibi. Kita tidak pindah ke satu wanita dari mereka kecuali sebelumnya dihukumi tidak ada, atau belum nikah atau sudah nikah tetapi tidak diketahui maharnya.
Jika tidak ditemukan wanita keluarga arham (dari ibu) atau ada, tetapi belum menikah atau sudah menikah tetapi tidak diketahui maharnya.  Maka mahar wanita tersebut disamakan mahar wanita-wanita yang setara dengannya.  Akan tetapi lebih didahulukan wanita-wanita dalam negerinya atau negeri-negeri didekatnya.
Pertimbangan persamaan antara dua wanita yang sama dalam sifatnya adalah persamaan dalam usia, kecerdasan (IQ), kecantikan, kekayaan, kejelasan berbicara, keperawanan, karena nahar akan berbeda sebab perbedaan sifat-sifat tersebut.
Demikian juga yang harus dipertimbangkan adalah kondosi suami ketika menentukan ukuran mahar mitsil.  Kondisi suami seperti kaya, berilmu, memelihara haram, dan sejenisnya. Jikalau didapatkan wanita keluarga ashabah istri yang sama sifat-sifatnya dan kondisi suaminya juga sama, maka maharnya sama dengan wanita tersebut.  Jika tidak sama, maka tidak disamakan.
Penulis Syarah At-Tahir telah meringkas kondisi wajib mahar mitsil dengan perkataannya: wajib mahar mitsil pada lima tempat, yaitu: dalam nikah, bersenggama, Khulu’, meralat dari persaksian, dan persusuan. 
Kondisi pertama, akad nikah sah jika memenuhi syarat dan rukunnya.  Jika seorang wanita berkata kepada walinya; “nikahkan aku tanpa mahar” kemudian wali menikahkannya tanpa mahar atau menikahkanya tanpa menyebutkan mahar dalam akad atau wali menikahkannya dengan mahar kurang dari mahar mitsil atau dengan uang yang bukan dari negaranya atau ia menyebutkan mahar tertentu kemudian rusak di tangan suami sebelum diserah terimakan, atau kedua belah pihak mempersyaratkan syarat yang rusak seperti khamr.
Dalam berbagai contoh diatas, mahar mitsil wajib diberikan jika telah terjadi percampuran suami atau meninggal salah satunya.  Jika suami belum bercampur atau belum meninggal salah satunya maka wanita berhak menuntut mahar sebelum berhubungan, berhak menahan dirinya sehingga dibayar maharnya dan tidak ada kewajiban suatu sebab akad semata.  Sesungguhnya ia wajib hanya karena salah satu dari tiga hal, yaitu kerelaan wanita atau kewajiban dari pengadilan atau meninggal salah satunya.  Karena jika wajib sebab akad, ia mengambil separuh mahar sebab talak sebelum bercampur seperti mahar yang disebutkan.  Al-Qur’an menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban bersenang (mut’ah), sebab dalam akad mempunyai tuntutan agar dibayar maharnya.
Kondisi kedua, wajib mahar mitsil sebab bercampur syubhat.  Misalnya seorang laki-laki mendapati seorang wanita lain yang tidur ditempat istrinya, kemudian ia menduga wanita lain itu adalah istrinya sampai ia mencampurinya, setelah itu ia menyadari itu adalah bukan istrinya.  Atau seorang wanita pindah ketempat istri, suami menduga istrinya kemudian ia mencampurinya, dan ternyata itu bukan istrinya.  Dalam kondisi ini wajib dibayar mahar mitsil tanpa member keperawanan jika ia perawan, jika ia janda ia diberi mahar sebagai janda dan tidak wajib hukuman.  Demikian pernikahan yang rusak (fasid),nmisalnya seseorang menikahi perempuan tanpa wali dan saksi kemudian ia mencampurinya.  Seolah-olah hari kejadian rusak bukan hari akad karena tidak ada pengahargaan bagi akad yang rusak.
Sebagaimana sabda Nabi SAW:
ايما امراة انكحت نفسِها بغير اذن وليها فنكاحها باطل، فان دخل فلها مهر مثلها
Wanita mana saja yang menikahkan dirinya tanpa seizing walinya, nikahnya batal, jika ia mencampurinya maka baginya mahar mitsil
Kondisi ketiga, wajib mahar mitsil sebab khulu’. Misalnya, jika seorang wanita budak khulu’ (mengajukan talak kepada suami dengan hadiah) tanpa seizin tuannya degan memberikan suatu benda, baik milik tuannya atau orang lain. Dalam kondisi ini, suami berhak mahar mitsil-nya yang dianalogikan dengan khulu’.
Kondisi keempat, wajib mahar mitsil karena persusuan. Misalnya, jika seorang laki-laki berakad nikah dengan wanita yang masih bayi seusia persusuan dan memilki istri lain yang sudah dewasa.  Istri dewasa menyusui istri yang masih bayi tanpa seizing suami sampai lima kali susuan.  Bayi tersebut menjadi anaknya suami dalam persusuan dan haram atasnya, karena akad anak wanita mengharamkan ibunya, ia menjadi ibu bagi istri yang bayi. Dengan demikian, istri yang masih bayi mendapatkan separuh mahar yang disebutkan jika penyebutannya benar karena berpisah sebelum bercampur dan jika penyebutannya rusak, ia mendapatkan separuh mahar mitsil. Istri dewasa membayar separuh mahar mitsil kepada suami secara mutlaq, baik penyebutan mahar itu benar maupun rusak, karena ia meluputkan suami dari kehalalan seks istri yang masih bayi.
Kondisi kelima,wajib mahar mitsil karena persaksian.  Misalnya jika dua orang saksi laki-laki bersaksi kepada orang lain bahwa suami menalak istri nya dengan talak ba’in dan talakraj’I dan tidak kembali sampai masa iddah-nya. Pengadilan mengeluarkan keputusan memisahkan mereka berdasarkan saksi tersebut.  Setelah itu dua orang saksinya meralat persaksiaannya dan berkata: “sesungguhnya apa yang kami persaksikan tidak benar”.  Dalam kondisi ini dua orang saksi wajib membayarmahar mitsil kepada suami, karena merekalah yang meluputkan suami dari kehalalan seks atas istrinya.
c.    Mahar Tunai dan Kredit
Dalam fiqh Islam mahar dipandang sebagai hak yang wajib diberikan kepada istri, hanya suami tidak harus segera menyerahkan mahar istrinya  pada saat suksesnya akad pernikahan. Akan tetapi, boleh menurut kesepakatan, apakah tunai seluruhnya atau diutangkan seluruhnya atau dibayar sebagian dan utang sebagian (kredit).  Baik penangguhan itu dalam tempo yang dekat atau tempo yang lama, baik penangguhan itu pada tanggal tertentu atau waktu terdekat dari dua masa, yaitu meninggal atau talak, atau dikredit bulanan atau tahunan, semuanya bergantung pada kesepakatan.  Jika mahar disebutkan secara muthlaq dan kedua belah pihak  tidak ada kesepakatan tunai, kredit atau utang, keputusanna kembali kepada Urf’ pernikahan negeri di itu.
Diantara kaidah yang ditetapkan “Bahwa sesuatu yang dikenal secra uruf seperti yang dipersyaratkan dengan suatu syarat”. Urf mahar di sebagian daerah di Mesir, tunai separuh dan di utangkan separuh sampai waktu trdekat di antara dua masa (meninggal dan talak). Sebagian berpendapat bahwa asalnya mahar dibayar tunai, jika tidak menyebutkan sesuatu berarti seluruhnya tunai atau kontan diserahkan. Mengetahui pembayaran mahar itu tunai mempunyai dampak bahwa istri mempunyai hak mencegah penyerahan dirinya kepada suami sehingga mahar segera dibayar seluruhnya. Jika mahar diutangkan, suami tidak ada hak mencegah karena kehalalan tempo sebelum penyerahan dirinya, istri tidak memiliki hak mencegah.[10]
C.    Ayat dan Tafsir tentang Mahar
1.    Surah al-Baqarah ayat 236 dan 237
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً ۖ وَّمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى الْمُوْسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ ۚ مَتَاعًامبِالْمَعْرُوْفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ  (البقرة : 236)
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِيْ بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِۗ وَأَنْ تَعْفُوْا أَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۗ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْۗ إِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ (البقرة : 237)
Artinya :
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu meneraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mutah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”
“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan dan dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” 
Tafsir Mufradat
(الجُنَاحَ)Al-Junaah : yang dimaksud di sini adalah tanggung jawab atau beban. Seperti membayar mahar dan lain sebagainya.
(المَسِيْس) Al-Masiis : asal katanya اللَّمْسُal-lams. Artinya memegang dengan tangan tanpa ada penghalang. Adapun yang dimaksud menurut syari’at ialah menyetubuhi istri.
(الفَرِيْضَةْ) Al-Fariidhah : Mahar
 (وَفَرْضُهَا) Wa Fardhuha : menentukan banyaknya.
(المُتْعَةْ) Al-Mut’ah : asal katanya mata’ artinya sesuatu yang bisa dimanfaatkan tetapi cepat habis. Oleh karena itu dalam menikmati sesuatu yang lezat dikatakan dengan nama mut’ah karena cepat habis atau cepat berlalu.
(المُوسِعْ) Al-Muusi’ : yang mempunyai keluasan harta, pangkat dan kekayaan.
(المُقْتِرْ) Al-Muqtir : Sedikit harta atau faqir. Dalam bahasa Arab dikatakan Aqtara ‘ala iyaalihi artinya member nafkah yang sedikit kepada orang-orang yang ditanggungnya.
(القَدْر) Al-Qadr : sebatas kemampuan.
(مَتَاعًا) Mataa’an : kewajiban yang sudah tetap.
(المَعْرُوْف) Al-Ma’ruf : sesuatu yang sudah dikenal dan menjadi ukuran orang banyak sesuai dengan kemampuan dan kondisi masing-masing daerah.
(الْمُحْسِنُوْنَ) Al-Muhsinuun : orang-orang yang memperlakukan wanita-wanita ditalak secara baik-baik.
(بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ) Biyadihii ‘uqdatun-nikah : suami pertama yang berhak menikahi kembali atau melepaskannya.
(عَفْوُهُ) ‘Afwuhu : tidak mengambil sebagian mahar yang telah diberikan kepada istri sebagai tanda mata atau sedekah kepadanya.
(الفَضْل) Al-Fadl : ikatan kasih sayang.[11]
Tafsir Ayat
Dalam kitab Jalalain menjelaskan tafsir pada surah al-Baqarah ayat 236 – 237 yaitu,
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ (Tidak ada dosa bagi kamu menceraikan istri-istrimu sebelum menyentuh mereka) menurut satu qira’at Tumaasuhunna artinya mencampuri mereka – أَو (atau) sebelum – تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً (kamu menentukan maharnya) maksudnya maskawinnya. Maa masdariyah zarfiyah maksudnya tak ada resiko atau tanggung jawabmu dalam perceraian sebelum campur dan sebelum ditentukannya berapa mahar, maka ceraikanlah mereka itu. – وَّمَتِّعُوْهُنَّ (dan hendaklah kamu beri mereka itu “mut’ah”) atau pemberian yang akan menyenangkan hati mereka. – عَلَى الْمُوْسِعِ (bagi yang mampu) maksudnya yang kaya diantaramu قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ  (Sesuai dengan kemampuannya, sedangkan bagi yang melarat) atau miskin –  قَدَرُهُ (Sesuai dengan kemampuannya pula). Ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tentang derajat atau kedudukan istri –  مَتَاعًا(yaitu pemberian) atau hiburan – بِالْمَعْرُوْفِ (menurut yang patut) menurut syara’ dan menjadi sifat bagi mataa’an. Demikian itu – حَقًّا (merupakan kewajiban); haqqan menjadi sifat yang kedua atau masdar yang memperkuat  عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ (bagi orang – orang yang berbuat kebaikan) atau orang – orang yang ta’at.
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ  (Dan jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu mencampuri mereka, padahal kamu sudah menetapkan mahar mereka, maka bayarlah separuh dari yang telah kamu tetapkan itu). Ini menjadi hak mereka, sedangkan yang separuhnya lagi kembali kepadamu, – إِلَّا (kecuali) atau tidak demikian hukumnya – أَنْ يَّعْفُوْنَ  (jika mereka itu memaafkan) maksudnya para istri itu memaafkan mereka hingga mereka tidak mengambilnya – أَوْ يَعْفُوَ الَّذِيْ بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ (atau dimaafkan oleh orang yang pada tangannya tergenggam akad nikah) yaitu suami, maka mahar diserahkan kepada para istri itu semuanya. Tetapi menurut keterangan yang diterima oleh Ibnu Abbas, wali boleh bertindak sebagai penggantinya, bila wanita itu mahjurah (tidak dibolehkan bertasaruf), dan hal itu tidak ada dosa baginya, maka dalam hal ini tidak ada kesulitan وَأَنْ تَعْفُوْا  (dan bahwa kamu memaafkan itu) an dengan masdarnya menjadi mubtada’ sedangkan khabarnya ialah – أَقْرَبُ لِلتَّقْوٰى وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ( lebih dekat kepada ketakwaan. Dan janganlah kamu lupakan keutamaan di antara kamu) artinya saling menunjukkan kemurahan hati, – إِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ (sesengguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan) dan akan membalasmu sebaik – baiknya.[12]
Penulis juga mengutip dari kitab Tafsir Fii Zhilalil Qur’an karangan Sayyid Quthb, yaitu sebagai berikut :
Pada ayat 236 menjelaskan bahwa wanita yang ditalak sebelum pernah dicampuri dan belum ditentukan besarnya mahar untuknya. Dalam kondisi ini, si suami yang menalak itu harus memberi mata’ pemberian untuk menyenangkan hati, uang hiburan dengan sukarela, yakni memberinya sesuai dengan kemampuan. Perbuatan ini memiliki nilai psikologis di samping keberadaannya sebagai suatu bentuk penghargaan.
Pemutusan ikatan perkawinan sebelum memulainya ini, akan menimbulkan kekerasan yang memberatkan di dalamjia si wanita dan menjadikan perpisahan itu sebagai suatu tusukan yang menyakitkan. Akan tetapi, pemberian itu akan dapat menghilangkan udara berkabut ini, dan akan meniupkan angin kasih sayang dan pemaafan serta menjauhkan nuansa penyesalan dan kekecewaan atas terjadinya talak itu. Kalau begitu, putusnya tali perkawinan itu adalah suatu kegagalan, bukan sebagai pukulan yang keras. Karena itu, dipesankan agar pemberian uang menghibur ini dilakukan dengan baik untuk mengekalkan cinta kasih kemanusiaan dan untuk menjaga kenangan-kenangan yang indah.
Pada waktu yang sama, si suami tidak dibebani sesuatu diluar kemampuannya. Maka, orang yang kaya supaya memberi sesuai dengan ukuran kekayaannya dan orang yang miskin supaya memberi sebatas kemampuannya, “Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula).”
Di anjurkan melakukannya secara makruf dan bagus, untuk membasahi kekeringan hati dan meringankan beban batinnya yang berat, “Yaitu, pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Pada ayat 237 ialah ditentukan jumlah maharnya. Dalam keadaan seperti ini si suami wajib memberikan separu dari mahar yang telah ditetapkan itu.
Demikianlah peraturan yang telah ditetapkan. Akan tetapi sesudah itu, Al-Qur’an membiarkan mereka melakukan toleransi, keutamaan dan kemudahan. Maka si istri dan walinya kalau dia masih kecil berhak untuk memberi maaf dan tidak memungut apa yang ditetapkan peraturan itu. 
Al-Qur’an menyusuli dengan membangkitkan rasa takwa, toleran, dan pengutamaan. Disusulinya dengan pengingatan akan pengawasan Allah kepadanya, supaya selalu berbuat yang bagus dan utama, baik sebagai pihakyang diuntungkan maupun yang merasa dirugikan. Juga supaya hati tetap bersih, tulus, dan jernih serta senantiasa berhubungan dengan Allah dalam segala kondisinya.[13]
2. Surah an-Nisa ayat 4 dan 23 – 24
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ
4. Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaankemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 3 žcÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇËÌÈ   * àM»oY|ÁósßJø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôMs3n=tB öNà6ãY»yJ÷ƒr& ( |=»tGÏ. «!$# öNä3øn=tæ 4 ¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºsŒ br& (#qäótFö6s? Nä3Ï9ºuqøBr'Î/ tûüÏYÅÁøtC uŽöxî šúüÅsÏÿ»|¡ãB 4 $yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù  Æèduqã_é& ZpŸÒƒÌsù 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJŠÏù OçF÷|ʺts? ¾ÏmÎ/ .`ÏB Ï÷èt/ ÏpŸÒƒÌxÿø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇËÍÈ  
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
24. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Tafsir Ayat
Dalam kitab Tafsir jalalain menjelaskan tafsir surah an-Nisa ayat 4 yaitu,
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ  (Berikanlah kepada wanita-wanita itu maskawin mereka) jamak dara sadaqah – نِحْلَةً (sebagai pemberian) karena ketulusan dan kesucian hati. – فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا (kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati) nafsa merupakan tamyiz yang asalnya menjadi fa’il artinya “hati” mereka senang untuk menyerahkan sebagian dari maaskawin itu kepadamu, lalu mereka berikan” – فَكُلُوهُ هَنِيئًا  (maka makanlah dengan enak) atau sedap مَرِيئًآ  (lagi baik) akibatnya, sehingga tidak membawa bencana di akhirat kelak. Ayat ini diturunkan terhadap orang yang tidak menyukainya.[14]
Penulis juga mengambil penjelasan tafsir pada surah ini dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir yang menjelaskan sebagai berikut :
Pada kalimat (وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ), Ali bin Abu Thalhah meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas mengartikan an nihlah dengan mahar. Sementara itu Muhammad bin Ishaq menyampaikan dari Zuhri, dari Urwah bahwa Aisyah mengatakan, “nihlah” adalah faridhah atau kewajiban.” Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Muqatil, Qatadah dan Ibnu Juraij, hanya saja Ibnu juraij menambahkan maknanya dengan musammah (mahar).
Ibnu Zaid berkomentar sebagai berikut:
“Bagi orang Arab, nihlah itu juga disebut dengan kewajiban. Jadi, ayat tersebut ditafsirkan  : janganlah menikahi perempuan tanpa memberikan sesuatu yang memang wajib diberikan kepadanya. Selain Rasulullah Saw., tidak seorang pun yang dibenarkan menikahi perempuan tanpa mahar wajib. Mahar juga bukanlah sebuah formalitas, hanya disebut tanpa ada wujudnya.
Semua pendapat ini mewajibkan setiap laki-laki membayar mahar kepada wanita yang dinikahinya. Kewajiban itu harus ditunaikannya dengan senang hati. Sama seperti manihah yang dilarang dan diberikan nihlah sebagai gantinya secara tulus, mahar pun wajib diberikan secara tulus. Namun apabila pihak wanita berkeinginan mengembalikan secara keseluruhan atau sebagian mahar itu kepada pengantin pria setelah diterimanya, hal ini dibolehkan. Maka dari itu, Allah menutup ayat tersebut dengan firman sebagai berikut[15].
“... kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati maka terimalah dan nikmatilah pemberian dengan senang hati.”
Pada ayat ini Allah S.W.T., menejelaskan tentang salah satu aturan yang berkaitan dengan pernikahan, yaitu shadaq (mahar atau maskawin) yang harus diberikan suami kepada istrinya atas dasar keikhlasan dan sesuai dengan kemampuannya. Kepada para calon suami, Rasulullah SAW., menganjurkan agar memberikan mahar yang besar, jangan menyepelekan calon istri dengan memberikan mahar alakadarnya, padahal ia mampu memberikan yang lebih besar dari itu. Tetapi kepada kaum wanita, Rasulullah jelas-jelas calon suaminya tidak akan mampu memenuhinya dan yang lebih menarik lagi, jika si isteri ridha maka harta dari mahar yang menjadi miliknya tersebut boleh dimanfaatkan oleh mereka berdua untuk kepentingan kehidupan rumah tangga, terutama di awal-awal pernikahannya.[16]
Secara tegas al-Qur’an memerintahkan kepada calon suami untuk membayar mahar dan dalam tafsir tematik menjelaskan dari surah an-Nisa ini yaitu :
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً  فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا 
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” (Q.S. An-Nisa’ [4] : 4).
Maskawin adalah lambang kesiapan dan kesedian suami memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, dan selama maskawin itu bersifat lambang, maka sedikitpun jadilah. Bahkan:
خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرُهُ – )رواه ابو داود عن عقبة ابن عامر(
“Sebaik-baik maskawin adalah seringan-ringannya.”
Begitu sabda Nabi SAW., walaupun al-Qur’an tidak melarang untuk memberi sebanyak mungkin maskawin. Ini karena pernikahan bukan akad jual beli, dan mahar bukan harga seorang wanita.
Agama menganjurkan agar maskawin merupakan sesuatu yang bersifat materi, karena itu bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan samapai ia memiliki kemampuan, tetapi jikalau oleh satu hal lain ia juga harus kawin, maka cincin besi pun jadilah.
إِتَّخِذْ وَلَوْ خَتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ
“Carilah walau cincin dari besi.”
Begitu sabda Nabi SAW., kalau ini pun tidak dimilikinya sedang perkawinan tidak dapat ditangguhkan lagi, baru maskawinnya boleh berupa mengajarkan beberapa ayat al-Qur’an. Rasulullah pernah bersabda :
أَنْكَحْتُكَ بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Telah saya kawinkan engkau padanya dengan apa yang engkau miliki dari al-Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Sahal bin Sa’ad).[17]



3. Surah al-Mumtahana ayat 10 – 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّۖ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُواۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّۚ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُواۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيْمُ (الممتحنة : 10)
وَإِنْ فَاتَكُمْ شَيْءٌ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ إِلَى الْكُفَّارِ فَعَاقَبْتُمْ فَآتُوا الَّذِينَ ذَهَبَتْ أَزْوَاجُهُمْ مِثْلَ مَا أَنْفَقُواۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ (الممتحنة : 11)
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pulan bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuam-perempuan kafir, dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
“Dan jika seseorang dari istri-istrimu lari kepada orang-orang kafir, lalu kamu mengalahkan mereka maka bayarkanlah kepada orang-orang yang lari istrinya itu mahar sebanyak yang telah mereka bayar. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya kamu beriman.” (Q.S. Al-Mumtahana : 10 – 11)
Tafsir Mufradat
(فَامْتَحِنُوْهُنَّ) Famtahinuuhunna : ujian mereka dengan persangkaanmu yang kuat itu, kesesuaian hati mereka dengan lidah mereka dalam hal keimanan.
(عَلِمْتُمُوهُنَّ) – ‘Alimtumuuhunna : kamu menyangka mereka.
(إِلَى الْكُفَّارِ) – Ilal Kuffaar : kepada suami-suami mereka
(أُجُورَهُنَّ) – Ujuurahunna : mahar mereka
(عِصَمْ) – ‘Isham : mufradnya ‘Ishmah yaitu ikatan dan sebab yang dipelihara.
(الْكَوَافِرِ) – Al-Kawaafir : jamak dari kafirah (perempuan kafir)
(فَعَاقَبْتُمْ) – Fa’aqabtum : akibat itu bagimu, yaitu keunggulan dan kemenangan bagimu, sehingga kamu mendapatkan ganimah dari mereka.[18]
Tafsir Ayat
Dalam kitab Tafsir jalalain menjelaskan tafsir surah al-mumtahana pada ayat 10 dan 11, yaitu sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ (Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian perempuan-perempuan yang beriman) secara lisannya – مُهَاجِرَاتٍ (untuk berhijrah) dari orang-orang kafir sesudah kalian mengadakan perjanjian perdamaian dengan orang-orang kafir dalam perjanjian Hudaibiyah, yaitu bahwa barang siapa yang datang kepada orang-orang mukmin dari kalangan mereka, maka orang itu harus dikembalikan lagi kepada mereka – فَامْتَحِنُوهُنَّ (maka hendaklah kalian uji mereka) melalui sumpah yaitu bahwa sesungguhnya mereka sekali-kali tidak keluar meninggalkan kampung halamannya melainkan karena senang kepada Islam, bukan karena benci terhadap suami mereka yang kafir, bukan pula karena mencintai orang-orang lelaki dari kalangan kaum muslim. Demikianlah isi sumpah yang dilakukan oleh Nabi SAW., kepada perempuan-perempuan itu – اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ (Allah telah mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kalian telah mengetahui bahwa mereka) yakni kalian menduga melalui sumpah yang telah mereka ucapkan, bahwa mereka – مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ (benar-benar beriman, maka janganlah kalian kembalikan mereka) janganlah kalian kembalikan mereka – إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُمْ (kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada mereka) yakni kembalikanlah kepada orang – orang kafir yang menjadi suami mereka – مَا أَنْفَقُوا (mahar yang telah mereka bayar) kepada perempuan – perempuan mukmin itu. – وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ  (Dan tiada dosa atau kalian mengawini mereka) dengan syarat – إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ (apabila kalian bayar kepada mereka maharnya) maskawinnya. – وَلَا تُمْسِكُوا  (Dan janganlah kalian tetap berpegang) dapat dibaca tumsikuu dan  tumassikuu, yakni dengan memakai tasydid dan tanpa tasydid – بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ (pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir) yakni istri – istri kalian yang kafir, karena keislaman kalian telah nenutuskannya dari kalian berikut syarat – syaratnya. Atau perempuan-perempuan yang menyusul atau mengikuti orang-orang musyrik dalam keadaan murtad, karena kemurtadannya telah memutuskan tali perkawinan mereka dengan kalian, berikut syarat-syaratnya – وَاسْأَلُوا (dan hendaklah kalian minta) hendaklah kalian nuntut – مَا أَنْفَقْتُمْ (apa yang telah kalian nafkahkan) kepada mereka, yaitu mahar-mahar yang telah kalian bayar kepada mereka, berupa pengembalian dari orang-orang kafir yang mengawini mereka – وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا (dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar) kepada perempuan-perempuan yang ikut berhijrah, sebagaimana penjelasan yang telah lalu, yaitu bahwasanya kaum muslimah yang membayarkannya. – ذَٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ (Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kalian) untuk kalian laksanakan. – وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيْمُ (Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana).
وَإِنْ فَاتَكُمْ شَيْءٌ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ (Dan jika seseorang dari istri – istri kalian lari) seorang atau lebih di antara kalian.  Atau dari sebagian dari mahar mereka luput dari kalian karena mereka lari –إِلَى الْكُفَّارِ  (kepada orang-orang kafir) dalam keadaan murtad – فَعَاقَبْتُمْ (lalu kalian mengalahkan mereka) maksudnya memerangi mereka, kemudian kalian memperoleh ganimah فَآتُوا الَّذِينَ ذَهَبَتْ أَزْوَاجُهُمْ (maka bayarkanlah kepada orang-orang yang istrinya lari itu) dari ganimah yang kalian peroleh – مِثْلَ مَا أَنْفَقُوا (mahar sebanyak yang telah mereka bayar) karena sebagian dari mahar tersebut tidak sempat mereka terima dari pihak orang-orang kafir. – وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ (Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya kalian beriman) kemudian orang-orang mukmin itu benar-benar mengerjakan apa yang telah diperintahkan kepada mereka, yaitu memberikan ganti rugi mahar kepada orang-orang kafir, juga kepada orang-orang mukmin yang istrinya lari, kemudian hukum ini sesudah itu ditiadakan.[19]
Dalam kitab tafsir al-Misbah karangan M. Quraish Shihab yang menjelaskan pada ayat ini, yaitu :
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang untuk bergabung kepada kamu perempuan-perempuan mukminah yakni yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan dalam keadaan sebagai wanita-wanita yang berhijrah meninggalkan Mekkah maka ujilah mereka menyangkut keimanan mereka. Misalnya memerintahkan mereka bersumpah mengenai motivasi kehadiran mereka ke Mekkah. Jangan ada yang menduga bahwa ujian itu karena Allah tidak mengetahui hakikat keimanan mereka. Sama sekali tidak! Allah lebih mengetahui dari siapa pun tentang hakikat keimanan mereka – maka jika kamu telah mengetahui keadaan mereka – yakni menduga keras berdasar indikator-indikator yang memadai – bahwa mereka beanr-benar wanita-wanita mukminah, maka janganlah dalam bentuk dan keadaan apapun kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir walaupun mereka itu adalah suami-suami wanita-wanita mukminah tadi, sebab mereka para wanita mukminah itu tidak halal menjadi istri-istri bagi mereka, pria-pria kafir itu dan mereka yakni pria-pria kafir itupun tidak halal juga menjadi suami-suami sejak bagi mereka kini dan masa datang.
Selanjutnya karena para suami itu telah pernah membayar mahar ketika perkawinannya dengan istri yang berhijrah itu dan demi keadilan, ayat di atas melanjutkan bahwa dan berikanlah kepada suami-suami mereka apa mahar yakni yang telah mereka bayar agar mereka tidak mengalami kerugian berganda – istri dan mahar.
Selanjutnya karena wanita-wanita mukminah itu boleh jadi memerlukan pelindung atau masih ingin membina rumah tangga dan ada juga yang meminatinya, maka ayat diatas melanjutkan bahwa : Dan tiada dosa atas kamu wahai pria-pria muslim mengawini mereka – sesuai syarat yang berlaku antara lain kehadiran saksi, wali dan setelah selesainya ‘iddah mereka – walau bekas suami mereka yang kafir tidak menceraikan mereka. Ini apabila kamu bayar kepada mereka mahar-mahar mereka sesuai jumlah yang kamu sepakati masing-masing.
Setelah menetapkan putusnya perkawinan istri muslimah terhadap suaminya yang kafir, ayat di atas melanjutkan tentang kewajiban suami-suami muslim memutuskan hubungan perkawinan mereka dengan istri-istri mereka yang masih musyrikah – bukan yang Ahl al-Kitab. Allah berfirman : Janganlah kamu wahai pria-pria muslim tetap berpegang pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir yakni musyrikah; dan mintalah wahai kaum muslimin yang istrinya minggat untuk mengawini pria kafir – mintalah apa yakni mahar yang telah kamu bayar kepada bekas istri kamu itu; dan hendaklah mereka pun orang-orang kafir itu meminta kepada bekas istri mereka yang telah kawin dengan muslim apa yakni mahar yang telah bayar. Demikianlah ketetapan yang sungguh tinggi nilainya lagi amat adil hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu. Dan Allah maha Mengetahui kemaslahatan hamba-hambaNya lagi Maha Bijaksana dalam segala ketetapan-Nya.
Ujian dimaksud antara lain dengan menyuruhnya bersumpah bahwa kehadiran mereka benar-benar tulus demi karena Allah, bukan karena ingin berpisah dengan suami, lalu mengawini salah seorang yang mereka cintai atau meninggalkannya karena ingin menghindarkan dari sanksi yang mesti dipikulnya.
Firman-Nya : Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka dapat juga dipahami sebagai bertujuan menyatakan bahwa kendati kamu menguji untuk mengetahui keimanan mereka, kamu tidak akan mampu mengetahuinya secara pasti. Hanya Allah yang mengetahui secara pasti keimanan yang terdapat dalam hati manusia.
Firman-Nya : Mereka tidak halal bagi orang-mereka dan mereka (juga) tidak halal bagi mereka, yakni yang pertama menggunakan bentuk mashdar yang menyatakan bahwa sejak sekarang hal itu tidak halal dan yang kedua bentuk mudhari’ yaitu untuk masa datang pun tidak halal juag. Demikian pendapat sementara ulama.
Kata ‘Isham adalah bentuk jamak dari ‘Ishmah. Kata ini digunakan untuk menggambarkan berlanjutnya ikatan perkawinan.
Dan sebaliknya jika luput dari kamu sesuatu yakni seseorang atau lebih dari istri-istri kamu yakni lari dan minggat untuk bergabung kepada orang-orang kafir, lalu kamu pada suatu ketika mendapat giliran mengalahkan mereka dan memperoleh harta mereka, maka bayarkanlah kepada orang-orang yang pergi yakni minggat dan lari istri-istri mereka itu dari harta mereka yang kamu peroleh tadi sebanyak apa yakni mahar yang telah mereka nafkahkan yakni bayarkan kepada istrinya yang lari itu. Dan bertakwalah kepada Allah – dalam segala hal termasuk dalam urusan pembayaran mahar ini, yang kamu hanya kepada-Nya merupakan orang-orang mukmin yang mantap imannya.
Kata faatakum terambil dari kata faut yang pada mulanya berarti ketertinggalan, keberpisahan dan kejauhan yang sulit untuk dikejar atau diraih. Di sini digambarkan adanya suatu yang mestinya dimiliki atau diraih, tetapi oleh satu dan lain hal tidak terpenuhi. Sesuatu itu dinamai oleh ayat di atas dengan kata Syai’(un). Kata ini dapat menunjuk sesuatu apapun – baik mulia maupun hina. Atas dasar itu banyak ulama memahaminya dalam arti istri sesuai dengan konteks ayat. Ada juga yang memahaminya dalam arti mahar yakni berupa mahar istri-istri kamu.
Kata ‘aqabtum ada juga yang memahaminya dalam arti kamu mendapat giliran dengan kehadiran istri-istri orang kafir bergabumg kepada kamu selaku orang-orang Islam setelah istri-istri sebagian dari kelompok kamu hadir kepada orang-orang kafir, dan orang-orang kafir itu enggan membayar mahar yang pernah diberikan oleh suami kepada istrinya yang minggat itu, maka hendaklah kamu ahai kaum muslimin – melalui dana yang kamu miliki – membayarkan kepada suami muslim yang istrinya minggat itu sejumlah harta yang senilai dengan mahar yang pernah diberikannya. Pendapat ini tidak menjadikan dana yang digunakan itu, merupakan hasil dari harta rampasan perang. (Ghanimah atau Far’i) tetapi dana apa saja yang dapat diperoleh.[20]
Adapun daftar surah dan ayat yang mengandung arti mahar dalam al-Qur’an terdapat pada table berikut ini :
No
Surah
Ayat
Lafadz yang bermakna Mahar
Bentuk
Arti
1
Al-Baqarah
236
فَرِيْضَةً ج فَرَائِض
Isim
Mahar  / wajib
237
فَرِيْضَةً ج فَرَائِض
Isim
Mahar
2
An-Nisa
4
صَدُقَاتِهِنَّ
Fi’il Madhi
Maskawin mereka
24
أُجُورَهُنَّ
Jama’ Mu’annats Ghaibah
Mahar / Maskawin
3
Al-Mumtahana
10
أُجُورَهُنَّ
Jama’ Mu’annats Ghaibah
Mahar / Maskawin
Inilah yang dapat penulis tulis dalamtabel tersebut kata yang menyebutkan makna mahar.
D.    Ketentuan Mahar apabila Terjadi Perceraian
Pada surah al-Baqarah ayat 236 – 237 disana menjelaskan hukum-hukum pembayaran mahar dalam peristiwa perceraian. Permasalahan mahar memiliki ketentuan dan perincian yang beragam, bergantung pada keadaan atau peristiwa yang terjadi diantara suami istri. Penjelasannya sebagai berikut :
1.        Apabila saat akad berlangsung besarnya mahar belum ditentukan dan belum dibayarkan, kemudian suami menceraikan istrinya sebelum dukhul (bersetubuh), maka tidaklah berdosa jika suami tidak membayarkan mahar tersebut. Namun, suami tetap berkewajiban memberikan mut’ah sesuai dengan kemampuannya.
2.        Apabila besarnya mahar telah ditentukan dan telah dibayarkan seluruhnya pada saat akad, kemudian suami menceraikan istrinya setelah dukhul (bersetubuh) maka suami dilarang mengambil kembali mahar yang telah diberikan.
3.        Apabila besarnya mahar telah ditentukan dan telah dibayarkan seluruhnya pada saat akad, kemudian suami menceraikan istrinya sebelum dukhul (bersetubuh) maka suami dapat mengambil kembali setengah dari mahar yang telah diberikan kepada istrinya. Namun, apabila suami merelakannya maka hal itu lebih baik baginya dan lebih dekat kepada takwa.
4.        Apabila besarnya mahar telah ditentukan, namun belum dibayarkan saat akad, kemudian suami menceraikan istrinya sebelum dukhul (bersetubuh), maka suami wajib membayar setengah dari nilai mahar yang telah ditentukan. Namun, apabila istrinya merelakannya maka itu lebih baik baginya dan lebih dekat kepada takwa.
5.        Apabila besarnya mahar telah ditentukan, namun baru dibayarkan setengahnya kemudian suami menceraikan istrinya sebelum dukhul (bersetubuh), maka suami tidak perlu membayar setengah dari sisa maharnya, kecuali jika ia rela memberikannya.
6.        Apabila besarnya mahar telah ditentukan namun baru dibayarkan setengahnya, kemudian suami menceraikan istrinya setelah dukhul (bersetubuh), maka wajib baginya untuk membayar sisa mahar yang belum diberikan kepada istrinya. Apabila istri merelakan sisa mahar, maka hal itu lebih baik dan lebih dekat kepada takwa.
Perbuatan saling merelakan merupakan perilaku yang terpuji sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah S.W.T., perbuatan itu pun dapat meredam kemungkinan timbulnya ketegangan di antara kedua belah pihak. Perbuatan saling merelakan merupakan cermin dari kerendahan hati dan kebersihan jiwa sehingga masalah tidak berkepanjangan.[21]
E.     Hikmah Disyariatkan Mahar
Hikmah disyariatkannya mahar dalam nikah adalah sebagai ganti dari dihalalkannya wanita atau dihalalkannya bersetubuh dengan suaminya. Disamping itu pula mahar juga sebagai tanda hormat sang suami kepada pihak wanita dan sebagai tanda kedudukan wanita tersebut telah menjadi hak suami.[22]
Mahar disyariatkan Allah SWT., untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah SWT., mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha. Mahar diwajibkan padanya seperti halnya juga seluruh beban materi.
Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang relevan suami dibebani mahar untuk diberikan kepada istri. Mahar ini dalam segala bentuknya menjadi penyebab suami tidak terburu-buru menjatuhkan talak kepada istri karena yang ditimbulkan dari mahar tersebut seperti penyerahan mahar yang diakhirkan, penyerahan mahar bagi wanita yang dinikahinya setelah itu dan juga sebagai jaminan wanita ketika ditalak.[23]



BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Dari pembahasan tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa mahar berasal dari segi bahasa dalam bentuk tunggal bahasa Arab adalah " الْمَهْرُ"  dan jamaknya yaitu  "مُهُوْرٌ" yang artinya adalah mahar, sedangkan dalam kitab juga menyebutkan bahwa mahar juga adalah shadaq (صداق), nihlah(نحلة) , faridhah (فريضة), ujr (أجر), ‘uqar(عقر) , dan aliqah (عليقة). Keseluruhan kata tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang diterima.
Pembagian mahar terbagi menjadi dua, yaitu mahar mitsil dan mahar musamma. Mahar mitsil adalah mahar yang menjadi ukuran keluarga mempelai anita yang dijadikan standar dalam akad nikah, sedangkan mahar musamma adalah mahar yang telah disebutkan atau dijanjikan kadar besarnya ketika akad nikah.
Ayat yang menjelaskan tentang mahar terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 236 dan 237, surah an-Nisa ayat 4 dan 24, dan pada surah al-Mumtahana ayat 10 dan 11.
B.     Saran dan Kritik
Adapun yang menjadi saran adalah bahwa penulis hanyalah seorang manusia yang biasa, dimana kelebihan yang diberikan itu adalah atas izin Allah SWT., dan kekurangan adalah milik dari diri penulis. Penulis menyadari bahwa susunan makalah ini mungkin ada kekurangan yang terdapat didalamnya, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik kepada pembaca apabila ada kesalahan atau terdapat kekeliruan dalam memberikan penjelasan materi ini tentang mahar tersebut.





DAFTAR PUSTAKA
Al-Fauzan,Shaleh. Fiqih Sehari-hari (Al-Mulakhasul Fiqhi). Terj. Abdul Hayyie Al-Kattani.dkk. 2005. Depok: Gema Insani Press
Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyurrahman. Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Imam Ghazali. 2012. Bandung  : PT. Sygma Examedia Arkanleema
Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Jakarta  : Balai Pustaka
Drs. Sudarsono, S.H.M.Si. Kamus Agama Islam. 2003. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. 2010. Jakarta: Prenada Media Grup
Hafidhuddin,Didin. Tafsir al-Hijri : Kajian Tafsir al-Qur’an Surah An-Nisa. 2000. Bogor  : Yayasan Kalimah Thayyibah
Hasan, M. Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam. 2006. Jakarta  : Siraja Prenada Media Group
Jalaluddin, Imam al-Mahalli dan Jalaluddin, Imam as-Suyuti. Terjemahan Tafsir Jalalain berikut Asbabun Nuzul. Jilid 1 dan 2. Terj. Bahrun Abu Bakar,Lc. 2011. Bandung  : Sinar Baru Algensindo
Muhammad Al-Jamal, Syekh Ibrahim. Fiqih Wanita ( Fiqhul Mar’ah Al-Muslimah). Terj. Anshori Umar Sitanggal. 2008. Semarang  : CV Asy-Syifa
Muhammad Azzam,Abdul Aziz dan Sayyed Hawwas,  Abdul Wahhab. Fiqih Munakahat. 2011. Jakarta: Amzah
Muhktar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. 1974. Jakarta: Bulan Bintang
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia. 1997. Surabaya  : Pustaka Progressif
Musthafa, Ahmad al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi. Jilid 2 dan 28. Terj. KH. Anshari Umar Sitanggal. 1993. Semarang  : PT. Karya Toha Putra Semarang
Quthb, Sayyid. Tafsir Fii Zhilalil Qur’an : Dibawah Naungan al-Qur’an. Jilid 1. 2000.  Jakarta: Gema Insani Press
Shaleh, Qamaruddin,dkk. Ayat-Ayat Larangan dan Perintah dalam Al-Qur’an : Pedoman Menuju Akhlak Muslim. 2004. Bandung  : CV Penerbit Diponegoro
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. 2002. Jakarta  : Lentera Hati
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. 2013. Bandung  : PT. Mizan Pustaka
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan UU Perkawinan. cet.3. 2009. Jakarta  : kencana
Yunus, Mahmud. Kamus Arab – Indonesia. 1976. Jakarta  : PT. Balai Pustaka


[1]Prof. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, (Jakarta 1976 : PT. Balai Pustaka), Hlm. 431
[2]Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia, (Surabaya 1997 : Pustaka Progressif), Hlm. 1363
[3]Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta 2005 : Balai Pustaka), Hlm. 696
[4]Drs. Sudarsono, S.H.M.Si, Kamus Agama Islam, ( Jakarta 2003 : PT. Rineka Cipta), Hlm. 146
[5]K.H. Qamaruddin Shaleh,dkk, Ayat-Ayat Larangan dan Perintah dalam Al-Qur’an : Pedoman Menuju Akhlak Muslim, (Bandung 2004 : CV Penerbit Diponegoro), Hlm. 63
[6]Syekh Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Wanita ( Fiqhul Mar’ah Al-Muslimah), Terj. Anshori Umar Sitanggal, (Semarang 2008 : CV Asy-Syifa), Hlm. 385
[7]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan UU Perkawinan, (Jakarta 2009 : kencana), cet.3, hlm. 84
[8]M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta 2006 : Siraja Prenada Media Group), cet.2, hlm. 113 – 114
[9]Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali,M.A., Fiqh Munakahat, (Jakarta 2010: Prenada Media Grup), hlm. 93 – 94
[10] Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta1974: Bulan Bintang), hlm. 82
[11]Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid 2, Terj. KH. Anshari Umar Sitanggal, (Semarang 1993 : PT. Karya Toha Putra Semarang), Hlm. 336 – 337
[12]Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Terjemahan Tafsir Jalalain berikut Asbabun Nuzul, Jilid 1, Terj. Bahrun Abu Bakar,Lc., (Bandung 2011 : Sinar Baru Algensindo), Hlm. 128 – 130
[13] Sayyid Quthb, Tafsir Fii Zhilalil Qur’an : Dibawah Naungan al-Qur’an, Jilid 1, (Jakarta 2000 : Gema Insani Press), Hlm. 305
[14]Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Terjemahan Tafsir Jalalain berikut Asbabun Nuzul, Jilid 1, Terj. Bahrun Abu Bakar,Lc., (Bandung 2011 : Sinar Baru Algensindo), Hlm. 311
[15]Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Tafsir Ibnu Katsir, Terj. Imam Ghazali, (Bandung 2012 : PT. Sygma Examedia Arkanleema), Hlm. 123 - 124
[16]K.H. Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri : Kajian Tafsir al-Qur’an Surah An-Nisa, (Bogor 2000 : Yayasan Kalimah Thayyibah), Hlm. 9
[17]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung 2013 : PT. Mizan Pustaka), Hlm. 271 - 273
[18]Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid 28, Terj. KH. Anshari Umar Sitanggal, (Semarang 1993 : PT. Karya Toha Putra Semarang), Hlm. 115
[19]Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Terjemahan Tafsir Jalalain berikut Asbabun Nuzul, Jilid 2, Terj. Bahrun Abu Bakar,Lc., (Bandung 2011 : Sinar Baru Algensindo), Hlm. 1071 - 1073
[20]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta 2002 : Lentera Hati), Hlm. 171 - 176
[21]K.H. Qamaruddin Shaleh,dkk, Ayat-Ayat Larangan dan Perintah dalam Al-Qur’an : Pedoman Menuju Akhlak Muslim, (Bandung 2004 : CV Penerbit Diponegoro), Hlm. 64 - 67
[22]Shaleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari (Al-Mulakhasul Fiqhi), Terj, Abdul Hayyie Al-Kattani.dkk, (Depok 2005: Gema Insani Press), Hlm. 674
[23] Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat, (Jakarta 2011: Amzah), Hlm. 177 - 178

0 komentar:

Posting Komentar