Maf'ul Bih



A. Pengertian Maf’ul Bih
            Menurut dalam kitab Is’afu thalibi, maf’ul bih adalah “isim yang menashabkan jatuh atasnya oleh perbuatan.”[1]
Contohnya adalah : ضَرَبْتُ زَيْدًا  , maka زيدا menjadi maf’ul bih.
            Menurut dalam kitab Mulakhos, maf’ul bih adalah “isim mansub yang menunjukkan kepada pihak yang di kenai amalnya fa’il bersamaan dengan tidak berubahnya bentuk fi’il.”[2]
Contohnya : يَطْلُبُ الْعَاقِلُ اْلعِلْمَ  
(Orang yang cerdas selalu menuntut ilmu) jadi, اْلعِلْمَ : maf’ul bih manshub dengan fathah.
            Menurut dalam kitab Nahwu Wadhih jilid I, maf’ul bih adalah “isim yang dinashabkan suatu perbuatan yang terjadi padanya.”[3]
Contohnya :
شَدَّاالتَّامِيْذُ الْحَبْلِ : murid itu mengikat tali
طَوَاتِ اْلبِنْتُ الثَّوْبَ  : anak (pr) melipat baju
أَكَلَ الذِّئْبُ الخَرُوْفِ : serigala memakan domba
            Menurut dalam kitab Jurumiyah, maf’ul bih adalah isim yang di nashabkan yang dikenakan padanya suatu perbuatan.[4]
Contohnya : ضَرَبْتُ زَيِدًا  dan رَكِبْتُ الْفَرَسَ
            Menurut dalam kitab Jami’ ad-Durus, maf’ul bih adalah isim manshub yang menunjukkan suatu arti dimana perbuatan fa’il jatuh padanya, baik dalam posisi itsbat (positif) ataupun nafi’ (negatif) dan bentuk fi’il sama sekali tidak berubah.[5]
Contohnya :
(+)بَرَيْتُ الْقَلَم َ  (Saya telah meraut pensil)
( - ) مَا بَرَيْتُ الْقَلَمَ   (Saya tidak meraut pensil)
            Menurut dalam kita at-Tuhfatus Saniyyah, maf’ul bih adalah isim manshub yang menjadi objek perbuatan.[6]
            Dari berbagai pendapat yang di ambil dari buku-buku tersebut, maka ada beberapa pemikiran (pemahaman) tersendiri yang berbeda-beda, yaitu :

1.      Nayirah[7] (Cairo, Mesir)
Maf’ul bih adalah objek.
Contoh : ضَرَبَ مُحَمَّدٌ كَلْبًا .
Maka, كَلْبًا itu menjadi maf’ul bih. مُحَمَّد  menjadi pelakunya, apa yang dipukul oleh Muhammad.
Jadi, objeknya Muhammad itu adalah kalban (anjing) yang dipukul.[8]
2.      Ahmad Zuhir[9] (STIQ Amuntai)
Maf’ul bih adalah isim yang nasab yang menjadi sasaran, korban, objek yang terfi’ili. Maksudnya adalah yang menjadi sasaran pekerjaan dari subjek atau fa’il.[10]
Contoh : ضرب زيد بكرًuntuk mengetahui yang mana maf’ul kita liat dulu dari segi makna, dan makna untuk maf’ul bih adalah “akan” yang merupakan sang objek menurut tatanan bahasa Indonesia, jadi yang dapat menjadi maf’ul bih dari contoh tersebut adalah بكرًا karena dapat dimaknai dengan “akan” yang artinya adalah “telah memukul oleh Zaid akan Bakr” (M. Ihsan Maulana[11] (Jawa Timur))[12]

3.      Jumarliansyah[13] (STIQ Amuntai)
Maf’ul bih adalah isim yang manshub (yakni difathahkan akhir kalimatnya) dia menjadi objek dari perbuatan si fa’il (pelaku).
Contoh : قرأ محمد القرانَ  (نَ pada قرانَ adalah yang menjadi maf’ul bih).[14]

4.      Ahmad Jumaidi[15] (STIQ Amuntai)
Maf’ul bih adalah isim manshub yang menunjukkan sesuatu yang dikenai pekerjaan.
Pengertian mudahnya adalah objek yang dikenai pekerjaan.
Contoh : 
ضَرَبَ عَلِيٌّ كَلْبَيْنَ[16]
 
5.       Ahmad Muzakki Ihsan[17] (Jawa Timur, Syari’ah wal Qonun)
Maf’ul bih adalah isim yang biasanya terletak setelah fa’il. Jadi, apabila kita sudah dapat fa’il maka otak sudah bekerja harus mencari mana maf’ulnya.
Menurut versi is’af thalibin apabila kalimat itu bisa dimaknai “akan” berarti itu adalah maf’ul bih.
Contoh : أَكَلَ الْقِطُّ السَّمَكَ .
Kalimat السمك terletak setelah fa’il. Maka dapat disimpulkan bahwa setelah fi’il baru fa’il kemudian disusul oleh maf’ul bih.[18]

6.      Siti Aisyah Arrahmi[19] (Cairo, Mesir)
Maf’ul bih adalah suatu kata dalam kalimat yang menjadi objek. Maf’ul bih barisnya selalu fathah.
Contoh : كَتَبَ الطَّالِبُ دَرَساً [20]

7.      Fajar Kurniawan[21] (STIQ Amuntai)
Maf’ul bih adalah isim yang manshub, sebagai objek dari perbuatan fa’il (pelaku).
Contoh : أَكَلْتُ السَّمَكَ.
Yang menjadi maf’ul bih adalah السمك dari dhamir mustatir (ت), yang artinya adalah saya makan ikan. Jadi, ikan (السمك) menjadi maf’ul bih, saya (ت) menjadi fa’il (subjek) dan fi’ilnya adalah makan (أكل).[22]

8.      Jauharatul Maknuniah[23] (Cairo, Mesir)
Maf’ul bih adalah objek yang jadi penderita. Dan barisnya selalu manshub.
Contoh : ضرب زيدا محمدًا
Kata Muhammad menjadi maf’ul bih dari objek (penderita) yang dipukul. Tetapi ini hanya ada di jumlah fi’liyyah.[24]
9.      Maliani[25] (STIQ Amuntai)
Dalam istilah bahasa Indonesia kedudukan maf’ul bih sama dengan objek.
Contoh :  إِشْتَرَيْتُ الطَّعَامَ. Maka yang menjadi maf’ul bih adalah الطعام, sebelumnya itu kita pandang artinya dulu yaitu “aku membeli kue”. Sedangkan maf’ul bih itu adalah objek dari perbuatan yang menjadi sebuah objek / tindakan dari الطعام, maka dari sanalah kita dapat mengenali الطعام itu maf’ul bih.
Jikalau kita tidak mengetahui apa artinya maka kita dapat melihat (mengingat) tanda – tanda yang memungkinkan untuk menjadi maf’ul bih misalnya adalah hukumnya nasab, maka apa – apa saja yang termasuk bagian nasab yaitu berbaris fathah.[26]

10.  Dahlina[27] (STIQ Amuntai)
Maf’ul bih adalah isim manshub yang terletak setelah adanya predikat (fi’il) dan subjek (fa’il), atau bisa juga disebut objek (penderita).

Contoh : إشترى زيد برتقا لاً

Kata برتقا لاً menjadi maf’ul bih dan  dia  berbaris fathah, karena dia terletak setelah fi’il(إشترى)  dan fa’il (زيد) .[28]
Dari penjelasan atau pendapat (pemikiran) sepuluh orang tersebut, maka penulis menyimpulkan maf’ul bih adalah isim manshub (yang di fathahkan)  yang terletak pada fi’il dan fa’il, atau dapat dikatakan maf’ul bih adalah “objek atau sasaran dari kata kerja fi’il yang berharakat fathah.” Maf’ul bih dapat dikatakan juga sebagai penderita. Dalam kaidah menurut Ilmu Nahwu maf’ul bih adalah : “isim manshub (isim yang berharakat fathah) yang datang bersama dengan fi’il (kata kerja).”
Contoh :ضربت الكلب .
Dari contoh tersebut, maka kata الكلب itu merupakan maf’ul bih karena jadi sasaran yang memukul. 

B. Syarat – Syarat Maf’ul Bih
            Menurut ahli nahwu maf’ul bih dimutlakkan kepada kata yang memenuhi syarat 3 perkara, yaitu :
1.      Berupa isim. Jadi, maf’ul bih tidak dapat berupa fi’il ataupun huruf.
2.      Di nashab (di fathahkan). Jadi, maf’ul bih tidak dirafa’kan dan tidak juga di jar-kan.
3.      Maf’ul bih merupakan objek perbuatan.[29]

C. Pola – Pola Penempatan Maf’ul Bih
1.      فعل – فاعل – مفعول به : قرأ – محمد – القرأن
2.      فعل – مفعول به – فاعل : سأل – النبي – رجل
3.      (فعل – فاعل ) – مفعول به : سألت رسول الله
4.      (فعل – فاعل – مفعول به ) : أمرتك
5.      (فعل – مفعول به ) – فاعل : أمرني – رسول الله
6.      مفعول به – (فعل – فاعل ) : إياك – نعبد [30]
D.Macam–Macam dan Pembagian Maf’ul Bih
            Dalam kitab Is’afut Thalibin, maf’ul bih terbagi menjadi dua, yaitu : dzahir dan dhamir.
1.      Dzahir  (ظاهر)
Contohnya : ضربت زيدًا
2.      Dhamir (ضمر) ini terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1)      Dhamir Muttashil seperti :
ضَرَبَهُ , ضَرَبَهُمَا , ضَرَبَهُمْ , ضَرَبَهَا , ضَرَبَهُمَا , ضَرَبَهُنَّ , ضَرَبَكَ , ضَرَبَكُمَا , ضَرَبَكُمْ , ضَرَبَكِ  ,ضَرَبَكُمَا , ضَرَبَكُنَّ,   ضَرَبَنِى ,  ضَرَبَنَا

2)      Dhamir Munfashil seperti :
إِيَّاهُ , إِيَّاهُمَا , إِيَّاهُمْ , إِيَّاهَا , إِيَّاهُمَا , إِيَّاهُنَّ , إِيَّاكَ , إِيَّاكُمَا , إِيَّاكُمْ , إِيَّاكِ, إِيَّاكُمَا , إِيَّاكُنَّ , إِيَّايَ , إِيَّانَا
Semua dhamir munfashil ini adalah mabni ‘ala sukun.[31]
            Dalam kitab Jami’ud Durus, maf’ul bih terbagi menjadi dua yaitu : Sharih dan Ghairu Sharih.
1.      Sharih terbagi menjadi dua, yaitu :
1)      Dzahir
Contoh : فتح خالد الحيرة

2)      Dhamir Muttashil
Contoh :أكرمتك و أكرمتهم

atau Dhamir Munfashil
Contoh :  إياك نعبد و إياك نستعينatau      إياه اريد

2.      Ghairu Sharih terbagi menjadi tiga, yaitu:

1)      Muawwal bi mashdar ba’da harf mashdari (dita’wilkan dengan mashdar setelah huruf mashdar).
Contoh : علمت أنك مجتحد

2)      Jumlah muawwal bi mufrad ( jumlah yang dita’wilkan dengan isim mufrad)
Contoh : ظننتك تجتحد

3)      Jar wa majrur
Contoh : أمسكت بيدك
Terkadang isim yang majrur menjadi maf’ul bih ghairu sharih maka huruf jarnya dihilangkan, dengan demikian isim tersebut menjadi manshub, kemudian disebut dengan (المنصوب على نزع الخافض) yaitu berstatus nasab dengan menghilangkan huruf jarnya. Maka kembali kepada asalnya dari nasab (fathah), seperti ucapan penya’ir :[32]
 *تَمُرُّوْنَ الدِّيَارَ وَلَمْ تَعُوْجُوْا*                       
*كَلَامُكُمُ عَلَيَّ إِذَا حَرَامُ*
Artinya :“kalian telah melewati rumah-rumah dan kalian kembali, karena perkataan kalian padaku haram”
Kata yang bergaris bawah itulah yang menjadi المنصوب على نزع الخافض.
Dalam kitab Mulakhos, maf’ul bih terbagi tiga, yaitu :
1.      Isim mu’rab, sebagaimana contoh-contoh yang telah lewat.
2.      Isim mabni (dhamir muttashil atau dhamir munfashil, isim isyarah, isim maushul, dst)
Contoh : رأيتك (aku telah melihatmu)
“kaf” : dhamir muttashil mabni pada posisi nashab yaitu maf’ul bih.

3.      Mashdar muawwal dari أن فعل + atau أن   + isim + khabar.
Contoh :أكدت الصحف أنَّ الأمن مستتب  (media cetak menegaskan bahwa keamanan stabil)
Mashdar muawwal dari أنَّ + isim + khabar = maf’ul bih.
            Adapun juga, terkadang maf’ul bih lebih dari satu yaitu apabila fi’ilnya termasuk dari fi’il – fi’il yang menasabkan lebih dari satu maf’ul. Fi’il – fi’il tersebut adalah :
1.      Fi’il yang menasabkan dua maf’ul yang asal keduanya adalah mubtada dan khabar, yaitu :

1)      Af’al Zhan[33] :
 ظَنَّ  خَالَ - حَسِبَ -  زَعَمَ -  جَعَلَ -  هَبْ
2)      Af’al Yaqin :
راى -  علم – وجد – الفى – تعلم(dengan arti  اعلم) [34]
3)      Af’al Tahwil[35] :
  صَبَّرَ – حوَّل – جَعَلَ – ردَّ – اتخذ – تخذ


2.      Fi’il yang menasabkan dua maf’ul yang asal keduanya bukan mubtada dan khabar, yaitu :


كَسَا – أَلْبَسَ – أَعْطَى – مَنَحَ – سَأَلَ - مَنَعَ[36]
Berbagai yang penulis dapat, maka pembagian maf’ul bih ada juga berdasarkan tanda nasabnya.
1.      Tanda nasab fathah, terbagi menjadi dua. Yaitu :
a.       Isim mufrad adalah isim yang  menunjukkan satu laki – laki atau satu perempuan.[37]
Contoh :
أَكَلَ مُحَمَّدٌ الْخُبْسَ
Muhammad telah makan roti
يُذَاكِرُ مُحَمَّدُ اَلدَّرْسَ
Muhammad sedang mengulangi pelajaran
ضَرَبَ عَلِيٌّ كَلْبًا
Ali telah memukul anjing
تَقْرَأُ الطَّالِبَاتُ الْجَرِيْدَةَ
Para mahasiswi sedang membaca koran
يَقْرَأُ مُحَمَّدٌ قُرْآنًا
Muhammad sedang membaca al-Qur’an
كَتَبَ الْوَلَدُ الدَّرْسَ
Anak itu menulis pelajaran
يَفْتَحُ أَحْمَدُ الْبَابَ
Ahmad sedang membuka pintu
ضَرَبَ الْأُسْتَاذُ وَلَدًا
Guru itu telah memukul anak
تَحْمِلُ فَاطِمَةُ الْقَلَمَ
Fathimah sedang membawa polpen
شَرِبَتْ مَرْيَمُ اللَّبْنَ
Maryam telah minum susu
Dari contoh diatas yang bergaris bawah itu adalah maf’ul bih. Sebelum kata dari maf’ul bih tersebut dinamakan isim mufrad.

b.      Jama’ Taksir adalah dengan merubah bentuk mufradnya.[38]
Contoh :
يُعَلِّمُ الْأُسْتَاذُ الطُّلَّابَ
Guru itu sedang mengajar para mahasiswa
يَحْمِلُ الْجُنُوْدُ اَلْأَسْلِحَةَ
Para tentara sedang membawa senjata
ضَرَبَ الْأُسْتَاذُ الْأَوْلَادَ
Ustadz telah memukul para anak
تَحْمِلُ فَاطِمَةُ الْأَقْلَامَ
Fathimah sedang membawa polpen – polpen
يَفْتَحُ أَحْمَدُ الْأَبْوَابَ
Ahmad sedang membuka pintu – pintu

2.      Tanda nasab kasrah, yaitu :
a.       Jama’ muannats salim adalah dengan menambahkan alif dan ta’ kepada isim mufrad.[39]
Contoh :
تَشْتَرِيْ الطَّالِبَاتُ الْمجَلَّاتِ
Para mahasiswi sedang membeli majalah
يَجْمَعُ الطُّلَّابُ الْكُرَّاسَاتِ
Para mahasiswa sedang mengumpulkan buku catatan
يَغْسِلُ أَحْمَدُ السَّيَّارَاتِ
Ahmad sedang mencuci banyak mobil

3.      Tanda nasab “ya” terbagi menjadi dua, yaitu :
a.       Mutsanna yaitu isim yang menunjukkan dua laki – laki atau perempuan dengan menambahkan alif, nun, atau ya, dan nun kepada isim mufrad.[40]
Contoh :
يَحْمِلُ التِّلْمِيْذُ الْكِتَبَيْنِ
Siswa sedang membawa dua buku
تَقْرَأُ الْمُدَرِّسَةُ الْمَقَالَتَيْنِ
Guru itu sedang membaca dua makalah
يَقْبِضُ الْبُوْلِيْسُ الْمُجْرِمَيْنَ
Polisi sedang menangkap dua penjahat
يَنْتَظِيْرُ الطُّلَّابُ الْحَاضِرَيْنَ
Para siswa itu sedang menunggu dua hadirin

b.      Jama’ mudzakkar salim yaitu dengan menambahkan wawu, nun, atau ya’ kepada isim mufrad.[41]
Contoh :
يَقْبِضُ الْبُوْلِيْسُ الْمُجْرِمِيْنَ
(Polisi sedang menangkap para penjahat )
يَنْتَظِيْرُ الطُّلَّابُ الْحَاضِرِيْنَ
( Para siswa itu sedang menunggu para hadirin )
يُكَلِّمُ الْمُدِيْرُ الْمُوَظَّفِيْنَ
( Direktur itu sedang berbicara dengan para pegawai )
           
Pada pembahasan tentang pembagian maf’ul bih, penulis akan menambahkan beberapa contoh selain dari contoh diatas, yaitu :
            Maf’ul bih terbagi dua, yaitu sharih dan ghairu sharih. Berikut penjelasannya :
1.      Sharih, yang terbagi dua bagian :
a)      Dzahir yaitu maf’ul bih yang terdiri dari isim dzahir tersebut (bukan kata ganti).
Contoh :
قَتَلَ قِرْدَا جَمِيْلاً
dia membunuh seekor monyet yang indah))
جميلا
قردا
قتل
نعت
منعوت
مفعول به منصوب بالفتحة
فعل الماضى




Maf’ul bih diatas adalah berupa isim mufrad ‘alamat nasabnya fathah.

سَتُلْقِى أَبَاهَا غَدًا
(Besok dia akan bertemu dengan ayahnya)
غدا
أباها
ستلقي
ظرف الزمان
مفعول به منصوب باالألف لأسماء الخمسة
فعل المضارع
Maf’ul bih diatas adalah berupa asmaul Khamsah dan alamat rafa’nya adalah alif.

b)      Isim dhamir terbagi menjadi dua, yaitu :
1)      Dhamir muttashil
jumlahnya ada dua belas.
ضَرَبَكُنَّ
(dia telah memukul kalian (pr))
ضَرَبَنِي
(dia telah memukulku)
ضَرَبَهُ
(dia telah memukulnya (lk))
ضَرَبَنَا
(dia telah memukul kami/kita)
ضَرَبَهَا
(dia telah memukulnya (pr))
ضَرَبَكَ
(dia telah memukulmu (lk))
ضَرَبَهُمَا
(dia telah memukul mereka berdua (lk / pr))
ضربكِ
(dia telah memukulmu (pr))
ضَرَبَهُمْ
(dia telah memukul mereka (lk))
ضَرَبَكُمَا
(dia telah memukul kalian berdua (lk / pr))
ضَرَبَهُنَّ
(dia telah memukul mereka (pr))
ضَرَبَكُمْ
(dia telah memukul kalian (lk))
            Yang digaris bawahi diatas adalah dhamir muttashil yang berkedudukan sebagai maf’ul bih.
            Catatan : apabila dhamir muttashil bersama fi’il maka menjadi maf’ul bih. Apabila dhamir muttashil bersama isim maka kedudukannya menjadi mudhaf ‘ilaih. Dan, apabila dhamir muttashil bersama inna dan kawan-kawannya maka kedudukannya menjadi isimnya inna dan kawan-kawan tersebut.
2)      Dhamir Munfashil ini seperti hal nya dhamir muttashil. Dhamir ini juga mempunyai 12 macam,
 yaitu :
اياي
اياهن
اياهما
اياها
اياهم
اياهما
اياه
ايانا
اياكن
اياكما
اياكِ
اياكم
اياكما
اياكَ
      Contoh : إياك نعبد و إياك نستعي


2.      Ghairu Sharih, yang terbagi menjadi tiga bagian. Yaitu :
a.       Muawwal bi mashdar
Contoh : علمت انك مجتحد
Pada contoh diatas dapat ditakwilkan menjadi : علمت اجتحادك
b.      Jumlah muawwal bi mufrad
Contoh : ظننتك تجتحد
Pada contoh diatas dapat ditakwilkan menjadi : ظننتك مجتحدا
c.       Manshub binadz’il khafidh yaitu dinasabkan karena dibuang huruf yang men-jarkannya.
Contoh : دخلت البيت
Kata al-baita menjadi maf’ul bih manshub binaz’il khafidh, yaitu membuang huruf yang menjarkannya. Ditakdirkan kepada دخلت في البيت. [42]

E. Hukum – Hukum Maf’ul Bih
            Dalam kitab Jami’ud Durus , hukum maf’ul bih ada empat hukum, yaitu :
1.      Wajib dibaca nashab (fathah).
2.      Boleh membuang maf’ul bih karena ada suatu dalil.
Contoh :
رعت الماشية  dan ditanyaka هل رأيت خليلا ؟ maka kamu jawab رأيتُ, Allah SWT., berfirman :
ما ودّعك ربك وما قلى (الضحى: 3)
firman Allah :  (3,2: طه)
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ القُرآن لِتَشْقَى، إِلَّا تَذْكِرَةً لِمنْ يَخْشَى 
            Terkadang muta’addi itu menempati lazim karena tidak ada kaitan dengan tujuan maf’ul bih, maka maf’ulnya tidak disebut dan tidak ditaqdir. Seperti firman Allah SWT.,
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ .
Af’alul qulub yang menashabkan dua maf’ul maka boleh membuang kedua maf’ul itu secara bersamaan, dan boleh juga membuang salah satunya karena ada dalil. Contoh yang dibuang salah satunya yaitu ucapan ‘Antaroh :
 وَلَقدْ نزَلْتِ، فلا تَظُنِّي غَيْرَهُ * مِنِّي بِمَنْزِلةِ المُحَبِّ المُكْرَمِ .
Maksudnya adalah فلا تَظُني غيرَهُ واقعاً dan yang dibuang kedua maf’ulnya secara bersamaan, yaitu : أين شُرَكائيَ الذين كنتم تَزعمونَ  maksudnya : تزعمونهم شُرَكائي dan ungkapan mereka : مَنْ يَسمَعْ يَخَلْ maksudnya : يَخَلْ ما يَسمعُهُ حقاً .

3.      Fi’ilnya boleh dibuang karena ada dalil.
Contoh :
Firman Allah SWT., :
مَاذَا أَنْزَلَ رَبُّكُمْ , قَالُوْا خَيْرًا . اَيْ : اَنْزَلَ خَيْرً
Maksudnya أنزلَ خيراً kamu ditanya, مَنْ أُكرِمُ kamu jawab, العلماءَ maksudnya : أكرمِ العلماءَ.
4.      Maf’ul bih diakhirkan atau terkadang didahulukan atas fa’il atau terkadang didahulukan atas fi’il dan fa’il.[43]
F. Mendahulukan Maf’ul Bih dan Mengakhirkannya
            Pada asalnya, fa’il itu bersambung dengan fi’il, karena fa’il itu seperti bagian dari fi’il. Kemudian setelahnya datang maf’ul. Terkadang urusannya terbalik, dan terkadang maf’ul didahulukan daripada fi’il dan fa’il secara bersamaan. Semua itu ada yang jaiz (boleh), wajib, dan terlarang.[44]
1. Mendahulukan fa’il dan maf’ul salah satu dari keduanya kepada yang lain.
Boleh mendahulukan maf’ul bih atas fi’il dan mengakhirkan maf’ul bih atas fa’il. Contoh : كتبَ الدرسَ زُهيرٌ dan كتبَ زُهيرٌ الدرسَ
Wajib mendahulukan salah satu dari keduanya kepada yang lain ada lima macam :
a.       Jika ditakutkan bercampur dan terjadi keraguan dengan sebab menyembunyikan i’rob dengan tidak disertai qarinah, kemudian tidak diketahui fa’il dan maf’ulnya maka wajib mendahulukan fa’il. Contoh : وغلَب هذا ذاك . عَلّمَ موسى عيسى، وأكرمَ ابني أخي apabila dipandang aman dari pencampuran karena adanya qarinah yang menunjukkan, maka boleh mendahulukan maf’ul. Contoh : أكرمتْ موسى سَلمى، وأَضنتْ سُعدَى الحُمّى.
b.      Dhamir yang kembali kepada maf’ul bersambung dengan fa’il, maka wajib mengakhirkan fa’il dan mendahulukan maf’ul. Contoh : أكرم سعيدا غلامه , firman Allah SWT., وإذْ ابتلى إبراهيمَ رَبُّهُ بكلماتٍ
يومَ لا ينفع الظّالمينَ مَعذِرتُهم
dan tidak boleh dikatakan أكرم غلامُهُ سعيداً agar kembalinya dhamir tidak mesti diakhirkan secara lafadz dan tingkatan, dan hal itu terlarang.
c.       Fa’il dan maf’ul adalah dhamir, dan tidak ada batasan pada salah satu dari keduanya. Maka wajib mendahulukan fa’il dan mengakhirkan maf’ul. Contoh :
 أَكرمتُه
d.      Salah satu dari keduanya dhamir muttashil dan yang lainnya adalah isim dzahir.
Maka wajib didahulukan dhamir dari salah satu keduanya. Maka didahulukan fa’il contohnya أكرمت عليا , dan didahulukan maf’ul contohnya أكرمني علي .
e.       Apabila salah satunya menjadi sasaran pengkhususan dari fi’il dengan menggunakan lafadz إلا atau إنما  maka maful atau fa’il yang menjadi sasaran 
pengkhususan wajib diakhirkan.[45]
2. Mendahulukan Maf’ul bih atas Fa’ilnya
            Boleh mendahulukan maf’ul bih kepada fi’il dan fa’il secara bersamaan. Yang menjadikan maf’ul bih wajib di dahulukan ada empat masalah, yaitu :
a.       Maf’ul bih berupa isim syarat, contoh: أيّهم تكْرمْ أُكرِم  atau di mudhafkan pada syarat, contoh : هدي من تتبع يتبع بنوك
b.      Maf’ul bih beruba isim istifham, contoh :
 كم كتابا اشتريت,ما فعلت   , منْ أكرمْتَ atau di mudhafkan pada isim istifham, contoh : كتاب من أخذت
c.       Maf’ul bih berupa lafadz كم atau كأيِّنْ yang mempunyai makna khabariyyah. Contoh :  ! كمْ كتبٍ ملكتُ (banyak sekali kitab yang saya miliki), كأيّن منْ علمٍ حويتُ (banyak sekali ilmu pengetahuan yang saya himpun).
d.      Maf’ul bih dinasabkan oleh jawabannya lafadz أمّا dan tidak ada isim manshub yang didahulukan selainnya. Contoh : فأمَّا اليَتِيْمَ فَلاَتَقْهَرْ  [46]
3. Mendahulukan Salah Satu dari dua maf’ul bih
            Ada ketentuan bahwa salah satu dari dua maf’ul bih itu ada yang wajib didahulukan atas empat macam :
a.       Jika ada keserupaan, maka wajib mendahulukan maf’ul yang mempunyai hak yang didahulukan, yaitu maf’ul yang pertama. Contoh : أعطيتُك أخاكَ  (saya telah memberikan engkau kepada saudaramu).

b.      Jika salah satu dari dua maf’ul berupa isim dzahir atau isim dhamir, maka wajib mendahulukan isim dhamir dan mengakhirkan maf’ul bih yang berupa isim dzahir.
Contoh : أعطيتُكَ درهماً

c.       Jika salah satu maf’ul bih menjadi sasaran pengkhususan dari fi’il dalam hal ini wajib mengakhirkan maf’ul bih, baik berupa maf’ul awwal ataupun maf’ul tsani.
Contoh : ما أعطيْتُ سعدًا الاّ درهماً
d.      Maf’ul bih memakai dhamir dan kembali kepada maf’ul tsani, maka wajib mengakhirkan maf’ul awwal dan mendahulukan maf’ul tsani.

Contoh : أعْطِ القَوْس باَريهاَ  (berikanlah busur itu kepada orang yang merautnya).[47]



G. Lafadz Yang Menyerupai Maf’ul Bih
            Apabila lafadz yang di ‘amalkan oleh sifat musyabbahah ma’rifah, maka mempunyai hak dibaca rafa’ karena sebagai fa’il, contoh : (Ali adalah orang yang baik budi pekertinya), hanya saja apabila bertujuan untuk makna muballaghah, maka mereka memindahkan fungsinya dengan cara sifat musyabbihat itu merafa’kan fa’il yang merupakan dhamir yang tersimpan kembali ke lafadz sebelumnya.[48]
            Kemudian yang awalnya menjadi fa’il dibaca nashab berfungsi sebagai lafadz yang menyerupai maf’ul bih. Contoh : dengan dibaca nasab pada lafadz  yang menyerupai maf’ul bih. Sebab sifat musyabihat adalah lazim, artinya tidak dapat menashabkan maf’ul bih, dan juga bukan tamyiz karena berupa isim ma’rifah. Sedangkan ketentuan tamyiz adalah berupa isim nakirah.[49]



LATIHAN dan PEMBAHASAN

Perhatikan contoh soal-soal berikut :
a.       يَقْرَأُ أَحْمَد الكِتَابَ
b.      أَخَذَ مُحَمَّد مِنَ الْمَكْتَبَةِ كِتَابًا
c.       اَلْهَكُمُ التَّكَاثُرَ
d.      حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
e.       وَرَأَيْتَ النَّاس يَدْخُلُوْنَ فِي دِيْنِ الله أفواجَا
f.       إِيَّاكَ نَعْبُد
Dari soal – soal diatas, maka kita akan membahas satu persatu :
1.       Kata يقرأ (membaca) menjadi fi’il , أحمد menjadi fa’il, dan الكتاب adalah maf’ul bih yang sesudahnya adalah kata fi’il dan fa’il.
2.      Yang menjadi maf’ul bih dari kalimat أخذ محمد من المكتبة كتابا adalah kata كتابا, karena kata ini adalah maf’ul bih dzahir (kata benda bukan kata ganti).
3.      Dari ayat tersebut, kata اله menjadi fi’il, dan kata كم menjadi maf’ul bih, yang menjadi fa’il adalah kata التكاثر. Jenis maf’ul bih dari ayat ini adalah isim dhamir yaitu lafadz كم (kamu).
4.      Kata yang menjadi maf’ul bih adalah kata المقابر, karena sebelum kata tersebut adalah adanya fi’il (رز) dan fa’il (تم).
5.      Kata رأي menjadi fi’il, ت menjadi fa’il dan kata الناس menjadi maf’ul bih, karena kata tersebut adalah isim dzahir dan barisnya dinasabkan.
6.      Kata إياك adalah isim dhamir munfashil yang menjadi maf’ul bih, karena kata ك adalah berupa kata ganti yang artinya kamu. Dan kata نعبد yang artinya kami beribadah, maka kata ن tersebut menjadi fa’il dan عبد menjadi fi’il.



KUMPULAN
KOSA KATA
Dahulu
:
قَدِيْمٌ
Putih
:
أَبْيَضٌ
Dokter
:
طَبِيْبٌ
Merah
:
أَحْمَرٌ
Rajin
:
مُجْتَحِدُ
Hijau
:
أَخْضَرُ
Pagi – pagi
:
مُبَكَّرًا
Biru
:
أَزْرَقُ
Bersih
:
نَظِيْفٌ
Singa
:
الأَسَدُ
Coklat
:
أَسْمَرٌ
Hitam
:
أَسْوَدُ
Sepak bola
:
كُرَةَ ااْقَدَمُ
Membeli
:
اشْتَرَى
Ramai, padat
:
مُزْدَحِمَةٌ
Kuning
:
أَصْفَرُ
Mencintai
:
حَبَّ – حُبًّا
Warna
:
أَلْوَانُ
Penting
:
ضَرُوْرِيٌّ
Latihan / ujian
:
امْتِحَانُ
Universitas
:
جَامِعَةٌ
Jingga
:
بُرْتُقَالِي
Nampak
:
ظَهَرَ
Sapi
:
بَقَرَةٌ
Dingin
:
بَارِدٌ
Lantai
:
بَادَ
Juara
:
بَطَلَ (ج : أَبْطَالٌ)
Ungu
:
بَنَفْسَجِي
Hias
:
زَانَ – زَيْنًا
Rumah
:
بَيْتٌ
Mudah, gampang
:
سَهْلٌ
Program
:
جَائِزَةٌ
Pelan
:
بَطِيْئٌ
Handphone
:
جَوَّالٌ
Memilih
:
اخْتَارَ
Tas
:
حَقِيْبَةً
Menyangka
:
ظَنَّ
Dinding
:
خِزَانَةُ
Meningkat
:
ارْتَفَعَ
Memaksa
:
خَزَا – خَزْوًأ
Terlambat
:
مُتَأَخِّرًا
Selalu
:
دَائِمًا
Zaman, masa
:
زَمَانٌ
Belajar
:
دَرَسَ
Waktu
:
وَقْتٌ
Membayar
:
دَفَعَ
Bengkok
:
مُعَوَّجٌ
Menemani
:
رَافِقٌ
Sedih
:
حَزِنَ
Jalan- jalan
:
رِحْلَةُ
Lemah
:
ضَعِيْفٌ
Mengendarai
:
رَكِبَ
Labotarium
:
مُخْتَبَرٌ ج مُخْتَبَرَاتٌ
Abu – abu
:
رَمَادِي
Melepas
:
خَلَعَ – خَلْعًا
Olahraga
:
رِيَاضَةٌ
Kuat
:
قَوِيٌّ
Cepat
:
سَرِيْعٌ
Sedikit
:
قَلِيْلٌ
Kapal
:
سَفِيْنَةٌ
Meletakkan
:
وَضَعَ
Teh
:
شَايَّ
Membantu
:
مُسَاعَدَةُ
Jernih
:
الصَّافِيُّ
Menjual
:
بَيْعٌ
Dapur
:
طَبَخَ
Lurus
:
مُسْتَقِيْمُ
Heran, kagum
:
عَجِبُ
Bertambah
:
يَزِيْدُ
Jus
:
عَصِيْرٌ
Kering
:
جَافُ
Libur
:
عُطْلَةُ
Putaran
:
دَوْرَةٌ
Buka
:
فَتَحَ
Nasehat
:
نَصَحَ
Menemui
:
قَابِلٌ
Mahal
:
غَالِيٌّ
Anting
:
قُرْطُ
Melempar
:
رَمَى
Memetik
:
قَطِفٌ
Debat
:
جَادَلَ
Perpustakaan
:
مَكْتَبَةٌ
Setengah
:
نِصْفٌ
Kesulitan
:
كُرِبَ
Pintar
:
مَاهِرٌ
Pertandingan
:
مُبَارَةٌ
Tertawa
:
ضَحِكَ
Tercela
:
مَذْمُوْمٌ
Kira – kira
:
تَقْرِيْبًا
Meniup
:
نَفَخَ
Biasanya
:
عَادَةً
Merah muda
:
وَرْدِيٌّ
Berharap
:
رَجَا
Manis
:
حَلَا – حَلَاوَة ً
Tetap
:
رَثَطَ – رُثُوْطًا
Menjaga
:
حَرَسَا - حَرَسًا
Meratapi
:
رَثَى
Menahan
:
سَجَنَ – سَجْنًا
Cerdik
:
ثَقَفَ – ثَقَفًا
Lari
:
شَدَّ – شَدًّا
Bunga teratai
:
البَشْنِيْنُ
Buruk
:
قَبَحَ – قَبْحًا
Bingung
:
تَلِهَ – تَلَهَا
Menghasut
:
مَاْرَ – مَأْرً
Menyimpang
:
جَاحَ – جَوْحًا
Mengambil
:
نَعَثَ – نَعْثًا
Bermain
:
لَعِبَ
Mengantuk
:
نَعَسَ – نَعَسًا
Menetapi
:
ثَكَمَ – ثَكْمًا
Kurus
:
هَزَلَ – هُزُلًا
Menutupi
:
كَفَنَ – كَفْنًا
Memanggang
:
شَوَى – شَيًّا
Menundukkan
:
رَاضَ – رَوْضًا
Melarang
:
زَبَرَ – زُبْرًا
Mengangkat
:
نَتَقَ – نَتْقًا
Mengumpulkan
:
هَبَشَ – هَبْشًا
Mengikat
:
كَبَلَ – كَبْلًا
Terhapus
:
عَمَسَ – عَمْسًا
Menggali
:
رَكَا – رَكْوًا
Cekatan
:
هَبَصَ – هَبْصًا
Mencabut
:
هَذَبَ – هَذْبًا
Menodai
:
عَمَطَ – عَمْطًا
Membual
:
فَشَرَ
Zebra
:
زِيْرَا
Menari
:
رَقَصَ – رَقْصًا
Memindahkan
:
نَقَلَ – نَقْلًا
Kijang
:
اليَعْفُوْرُ
Gelap
:
دَجَا – دَجْوًا
Tersebar
:
فَشَا – فُشُوًا
Bersuara
:
نَقَّ – نَقِيْقًا
Lemah
:
دَانَ – دَوْنًا
Haus, dahaga
:
ظَمِئَ – ظَمْأً
Gelang
:
اليَرَجُ
Melumuri
:
ضَمَجَ – َضَمْجًا
Mencelupkan
:
غَطَّ – غَطًّا
Mencampur
:
مَاشَ – مَيْشًا
Menyapu
:
خَمَّ – خَمًّا
Menggenggam
:
ضَبَثَ – ضَبْثًا
Tangkas
:
أَرِنَ – أَرَنًا
Mengambil
:
قَبَصَ – قَبْصًا
Apotek
:
صَيْدَلِيَّةُ
Menangkap
:
لَقِفَ – لَقْفًا
Meneguk
:
جَرَعَ - جَرْعًا
Menuang
:
صَبَّ – صَبًّا
Kelinci
:
أَرْنَبٌ
Jatuh
:
سَقَطَ – سُقُوْطًا
Bejana
:
الإِعَاءُ
Menikam
:
نَثَجَ – نَثْجًا
Duduk

جَلَسَ
Cangkir

كُوْبٌ
Jam

سَاعَةٌ
Pergi

ذَهَبَ
Hujan

مَطَرٌ
Pakaian

مَلَابِسُ
Tikus

فَأْرٌ
air

مَاءٌ


Daftar Pustaka
Al–Ahdal, Muhammad bin Ahmad. Al – Kawakib ad – Durriyah Syarah Mutammimah al – Jurumiyah Juz II. Surabaya : Darul Ilmi
Al – Jarim, Ali dan Musthafa Amin. An – Nahwul Wadhih Fii Qawa’idi al – Lughah al –‘Arabiyyah Lil Madaris al –‘Ibtida’iyyah. Mesir : al – Matba’ah al – Ma’arif.
Al-Gulayaini, asy – Syaikh Musthafa. 1972. Jami’ ad – Durus al – ‘Arabiyyah. Beirut : al- Maktabah al – ‘Asriyyah
Darsono dan Ibrahim. 2013. Fasih Berbahasa Arab 2. Solo : PT Tiga Serangkai  Pustaka Mandiri.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus al – Munawwir Arab – Indonesia. Surabaya : Pustaka Progressif
Ni’mah, Fuad. Mulakhos Qawa’idil Lughatil ‘Arabiyyah. Beirut : Darul al – Tsiqafah al – Islamiyyah
Unus, Muhammad Syukuri. 1988. Is’afut Thalibin Fii ‘Ilmu Nahwu. Banjar Masin : Murni
Abdul Hamid, Muhammad Muhyiddin. Tuhfatus Saniyyah Bi Syarhil Muqaddimah al – Jurumiyyah. 1994. Darus Salam.


[1].H. Muhammad Syukri Unas. Is’afu thalibin. (Banjar Masin : Cetakan ke3 1408 H – 1988 H), Hlm. 91
[2].Fu’ad Ni’mah. Mulakhos (Qawa’id al-Lughah ‘Arabiyyah). (Beirut : PT. Darus Tsaqafah al-Islamiyah). Hlm. 66
[3].Ali al-Jarim dan Musthafa Amin. An-nahwul Wadhih Jilid 1. (Surabaya : al-Hikmah). Hlm. 31
[4].Syaikh Muhammad Abdul Bari al-Ahdal. Jurumiyyah Mutammimah. (Surabaya : Darul Ilmi). Hlm. 3
[5].Syaikh Musthafa al-Ghalayaini. Jami’ud Durus al-‘Arabiyyah Jilid 3. (Beirut 1330 H / 1912 M) : Darul Hadits (Mesir)). Hlm. 5
[6]. Muhammad Muhyidin Abdul Hamid.Tuhfatus Saniyah Syarhil Muqaddimah al-Jurumiyah. (Darus Salam : 1994).Hlm. 123
[7]. Nayirah adalah seorang mahasiswi yang melanjutkan kuliah di Universitas al-Azhar, dan dia sempat menduduki di STIQ  Amuntai beberapa bulan sebelum melanjutkan ke Cairo Mesir. Beliau berasal dari Haur Gading.
[8].wawancara yang dilaksanakan pada hari jum’at, 25 Maret 2016 pukul 17 : 21, melalui BBM.
[9].Ahmad Zuhir adalah seorang mahasiswa di STIQ Amuntai (semester VI) dengan mengambil jurusan PBA pada angkatan 2013. Beliau sekarang menjabat sebagai bendahara SENAT di kampus STIQ.
[10].wawancara yang dilaksanakan pada hari jum’at, 25 Maret 2016 pukul 16 : 30, melalui SMS.
[11].Beliau adalah seorang mahasiswa dari Yaman (al-Ahghaf), namun untuk sementara beliau melanjutkan ke Gresik di Jawa Timur jurusan Syari’ah wal Qonun.
[12].wawancara yang dilaksanakan pada hari jum’at, 25 Maret 2016 pukul 22 : 22, melalui BBM
[13].Beliau juga seorang mahasiswa di STIQ (semester VI) jurusan PBA.
[14].wawancara yang dilaksanakan pada hari jum’at, 25 Maret 2016 pukul 16 : 13, melalui BBM
[15].Beliau adalah seorang mahasiswa di STIQ (semester VI) jurusan PBA, yang sekarang ini menjabat sebagai ketua SENAT di Kampus. Beliau menjabat dari tahun 2015 hingga sekarang (2016).
[16].wawancara yang dilaksanakan pada hari jum’at, 25 Maret 2016 pukul 17 : 28, melalui BBM.
[17].Beliau adalah seorang mahasiswa yang pernah mondok di MA Nipa Rakha, kemudian melanjutkan ke Universitas di Yaman (al-Ahghaf), namun sekarang beliau sedang melanjutkan di Gresik dengan jurusan Syari’ah wal Qonun.
[18].wawancara yang dilaksanakan pada hari jum’at, 25 Maret 2016 pukul 16 : 38, melalui BBM
[19].Rahmi adalah nama panggilannya, beliau adalah salah satu alumni MA Nipi Rakha dan sekarang sedang melanjutkan ke Universitas al-Azhar. Beliau berasal dari Tanjung.  
[20].wawancara yang dilaksanakan pada hari jum’at,  25 Maret 2016 pukul 16 : 00, melalui BBM.
[21].Beliau adalah seorang mahasiswa STIQ yang berada di semester IV dengan jurusan PBA.
[22].wawancara yang dilaksanakan pada hari jum’at,  25 Maret 2016 pukul 18 : 36, melalui BBM.
[23].Maknun adalah nama yang sering penulis panggil, beliau adalah salah satu alumni Rakha selama 6 tahun. Bisa dikatakan bahwa beliau adalah pakar Ilmu Nahwu, karena ayah beliau adalah salah satu guru penulis sewaktu sekolah di Pondok Rakha yang mengajarkan Ilmu Nahwu (Mu’allim Masiani). Beliau berasal dari Kota Raja.
[24].wawancara yang dilaksanakan pada hari jum’at, 25 Maret 2016 pukul 20 : 45, melalui BBM.
[25].Maliani adalah salah satu mahasiswi di STIQ semester IV jurusan PBA, beliau sekarang menjabat sebagai wakil ketua BOM (Badan Otonomi Mahasiswi) di kampus.
[26].wawancara yang dilaksanakan pada hari sabtu, 26 Maret 2016 pukul 23 : 21, melalui BBM.
[27].Dahlina adalah salah satu mahasiswi semester II jurusan PBA, beliau juga salah satu alumni Rakha selama 6 tahun.
[28].wawancara yang dilaksanakan pada hari senin, 28 Maret 2016 pukul 09 : 00, melalui secara langsung.
[29].Muhammad Muhyidin Abdul Hamid.Tuhfatus Saniyah Bi Syarhil Muqaddimah al-Jurumiyah. (Darus Salam: 1994).Hlm. 123 - 124
[30].Ema Mariam. Makalah Pembahasan Maf’ul Bih. (2014).
http://mae0703.blogspot.com/2014/03/makalah-pembahasan-maful-bih.htmldi akses pada tanggal 23 Maret 2016 pukul 16:45
[31].H. Muhammad Syukri Unas. Is’afu thalibin. (Banjar Masin : Cetakan ke3 1408 H – 1988 H), Hlm. 91
[32] . Syaikh Musthafa al-Ghalayaini. Jami’ud Durus al-‘Arabiyyah Jilid 3. (Beirut 1330 H / 1912 M) : Darul Hadits (Mesir)). Hlm.5 – 6
[33]. Af”al zhan yang bermakna menyangka kecuali (هب) maknanya adalah sangkalah!
[34]. Af’al Yaqin yang bermakna mengetahui
[35]. Af’al Tahwil yang bermakna merubah atau menjadikan
[36].Yang bermakna mencegah – meminta – memberikan – memberikan – memakaikan / menyelimuti – memakaikan / menyelimuti.
[37].Fu’ad Ni’mah. Mulakhos (Qawa’id al-Lughah ‘Arabiyyah). (Beirut : PT. Darus Tsaqafah al-Islamiyah). Hlm.21
[38]. Fu’ad Ni’mah. Mulakhos (Qawa’id al-Lughah ‘Arabiyyah). (Beirut : PT. Darus Tsaqafah al-Islamiyah). Hlm 21
[39] . Fu’ad Ni’mah. Mulakhos (Qawa’id al-Lughah ‘Arabiyyah). (Beirut : PT. Darus Tsaqafah al-Islamiyah). Hlm. 21
[40] . ibid. Hlm.21
[41] . ibid. Hlm.21
[42].Idoz. Belajar Bahasa Arab (BBA)Maf’ul Bih (Obyek).(2013).
http://sinaubahasaarab.blogspot.com/2013/03/maful-bih-objek-31.html diakses pada tanggal 26 Maret 2016 pukul 14:15
[43] . Syaikh Musthafa al-Ghalayaini. Jami’ud Durus al-‘Arabiyyah Jilid 3. (Beirut 1330 H / 1912 M) : Darul Hadits (Mesir)). Hlm. 6 – 7
[44] . ibid. Hlm. 7
[45] . Syaikh Musthafa al-Ghalayaini. Jami’ud Durus al-‘Arabiyyah Jilid 3. (Beirut 1330 H / 1912 M) : Darul Hadits (Mesir)). Hlm. 8 – 9
[46] . ibid. Hlm. 11
[47].Syaikh Musthafa al-Ghalayaini. Jami’ud Durus al-‘Arabiyyah Jilid 3. (Beirut 1330 H / 1912 M) : Darul Hadits (Mesir)). Hlm 11 – 12
[48].Ibid. Hlm 12 – 13
[49].Miftahul Huda, Maf’ul Bih Lengkap (2013).   
http://miftahwakaka.blogspot.com/2013/10/mafil-bih-lengkap.html diakses pada tanggal 25 maret 2016 pukul 17:50

0 komentar:

Posting Komentar